. Kemendagri Tegaskan Kewajiban Pemda Dukung MBG, Besaran Dana Tergantung Fiskal Daerah
Logo KPPOD

Kemendagri Tegaskan Kewajiban Pemda Dukung MBG, Besaran Dana Tergantung Fiskal Daerah

kompas.id - 20 Oktober 2025

Kemendagri Tegaskan Kewajiban Pemda Dukung MBG, Besaran Dana Tergantung Fiskal Daerah

Kementerian Dalam Negeri menegaskan bahwa perintah mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2026 untuk program Makan Bergizi Gratis sebatas bersifat dukungan, bukan pembiayaan utama. Walakin, pengamat menilai kebijakan itu menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak sensitif terhadap kondisi fiskal daerah yang tertekan akibat pemangkasan dana transfer dari pusat.

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benni Irwan saat dihubungi, Jumat (17/10/2025), mengatakan, Peraturan Mendagri Nomor 14 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2026 memang mengatur soal dukungan APBD 2026 untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Namun, alokasi dana dari APBD 2026 itu hanya bersifat dukungan yang melengkapi, bukan pembiayaan utama. Pendanaan utama MBG tetap bersumber dari APBN melalui Badan Gizi Nasional (BGN).

APBD 2026 digunakan untuk kegiatan pendukung seperti rapat koordinasi, pertemuan teknis, kegiatan administratif, hingga dukungan operasional dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait.

”Tidak ada ketentuan wajib atau nominal tertentu untuk alokasi APBD 2026 bagi program MBG. Dalam Permendagri No 14/2025 hanya diatur alokasi dukungan anggaran sesuai dengan kemampuan fiskal daerah,” ujar Benni.

Pengalaman pribadinya saat menjadi Penjabat Bupati Purwakarta 2023-2025, ada pula anggaran disiapkan untuk MBG. Setelah mendapatkan kepastian bahwa MBG dibiayai oleh APBN, anggaran dari APBD Purwakarta digunakan untuk bidang pendidikan.

”Jadi, dukungan itu diambil dari APBD melalui satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memang mempunyai kewenangan untuk itu. Jumlahnya sesuai dengan kemampuan pemda, tidak dipatok nilainya. Pemanfaatan anggaran merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” jelas Benni.

Merujuk pada beleid Permendagri No 14/2025, ia pun mengimbau daerah untuk tetap mengalokasikan dukungan anggaran sesuai kemampuan keuangan daerah. Anggaran itu kemungkinan akan digunakan untuk rapat atau pertemuan koordinasi. ”MBG membutuhkan koordinasi yang intens antara BGN dan pemerintah daerah. Kemendagri mendorong agar pemda mengalokasikan dukungan tersebut,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Alwis Rustam berpandangan, belum ada kejelasan terkait detail kontribusi APBD 2026 untuk mendukung program MBG. Oleh karena itu, Kemendagri harus menjelaskan kepada pemda terkait teknis pengaturannya. Kejelasan itu diperlukan agar arahan Mendagri itu selaras dengan syarat teknis yang diminta BGN kepada pemda.

”Dari permendagri itu, APBD 2026 untuk apa, belum jelas kelihatan, sehingga wajar kalau sampai hari ini banyak pemerintah kota yang belum menganggarkan di rancangan APBD 2026,” ujar Alwis.

Tak hanya itu, sejumlah kota kecil juga kesulitan jika diminta untuk menyediakan aset lahan dengan syarat luasan tertentu untuk keperluan pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di daerah.

Menurut Alwis, saat ini proses penganggaran APBD 2026 sedang direvisi karena banyak penyesuaian anggaran sebagai dampak dari pemangkasan dana transfer ke daerah. Saat ini, RAPBD 2026 sudah berada di wilayah Tim Anggaran Pembangunan Daerah (TAPD) yang diketuai oleh sekretaris daerah. Sementara untuk pengesahan RAPBD 2026 akan dibahas bersama-sama antara pemda dan DPRD.

Walakin, sebagian kota sudah menganggarkan dukungan APBD untuk MBG, terutama untuk kegiatan pengawasan karena banyak kasus keracunan makanan di daerah.

”Jika dilihat dari kapasitas fiskalnya, mungkin kota-kota besar masih bisa menganggarkan dana untuk dukungan MBG. Namun, kota-kota kecil belum tentu bisa. Yang lebih penting, permendagri harus lebih jelas terkait yang dimaksud dengan dukungan APBD itu,” tambahnya.

Menurut Benni, Kemendagri melalui Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah (Bina Keuda) sudah beberapa kali menggelar sosialisasi tentang permendagri tersebut, baik secara luring maupun daring. Dirjen Bina Keuda mengundang langsung pemda untuk menyosialisasikan permendagri sebelum dijadikan pedoman penyusunan APBD 2026 sehingga diharapkan implementasinya cukup jelas bagi pemda.

Tidak sensitif
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengkritik pemerintah yang dinilai tidak sensitif dengan situasi pemda tahun depan. Pemda menghadapi turbulensi fiskal setelah pemerintah dan DPR memangkas alokasi dana transfer ke daerah dari jumlah Rp 848 triliun pada 2025 menjadi Rp 693 triliun pada 2026.

Pemangkasan TKD itu berpengaruh pada belanja utama, terutama belanja modal, pelayanan publik, bahkan untuk gaji pegawai pemda.

”Tahun depan, pemda masih pontang-panting untuk menutupi lubang-lubang hasil pemangkasan itu. Permendagri No 14/2025 menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak punya sensitivitas terhadap situasi tersebut,” ujar Herman.

Arahan Kemendagri untuk mengalokasikan APBD 2026 sebagai dukungan program MBG, lanjutnya, akan menambah beban anggaran pemda. Perintah dukungan anggaran yang dimasukkan dalam permendagri menunjukkan bahwa alokasi itu termasuk kewajiban atau mandatory spending.

”Padahal, realitasnya, tidak diatur di permendagri pun daerah pasti mengalokasikan biaya-biaya koordinasi itu. Dengan ditetapkan di permendagri, itu menutup ruang daerah untuk mengalokasikan belanjanya pada program prioritasnya sendiri,” tegasnya.

Meskipun permendagri menyebut bahwa daerah hanya diminta untuk menganggarkan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah, hal itu tetap akan menjadi beban karena sifatnya menjadi wajib bagi daerah.

”Kalau daerah merasa berat atau tidak bisa dipenuhi, menurut kami, Kemendagri harus memahami situasinya. Sebab, kebijakan pemangkasan anggaran itu sudah berdampak signifikan terhadap pelayanan publik dan juga belanja-belanja pembangunan di daerah,” kata Herman.

Melihat permendagri tersebut, lanjutnya, daerah tidak hanya akan terbebani dengan dukungan anggaran terhadap program MBG, tetapi juga program-program pusat lainnya seperti Sekolah Rakyat, Koperasi Merah Putih, dan pembangunan 3 juta rumah. Jika semuanya membutuhkan dukungan APBD, akan menambah beban pemda di tengah kebijakan pemotongan TKD.

”Dalam tataran teknokratik, pemerintah pusat sudah mengabaikan desentralisasi dan otonomi daerah yang diakui di konstitusi. Kebijakan pemangkasan anggaran yang diikuti dengan perintah-perintah dukungan anggaran untuk program prioritas nasional juga tidak konsisten dengan Astacita yang salah satunya ingin memperkuat desentralisasi dan otonomi daerah,” ujar Herman.

Kebijakan pemotongan TKD, yang diikuti dengan perintah dukungan APBD untuk program prioritas nasional, tambah Herman, juga tak sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024-2029. Sebab, salah satu target RPJMN adalah penguatan fondasi keuangan daerah. Dengan rangkaian kebijakan terbaru itu, menurut dia, pemerintah pusat sudah inkonsisten terhadap visi-misinya sendiri.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/kemendagri-tegaskan-kewajiban-pemda-dukung-mbg-besaran-dana-tergantung-fiskal-daerah


Dibaca 778 kali