Polemik kebijakan Dedi Mulyadi minta warga Jabar donasi Rp1.000 per hari – 'Kalau dikorupsi bagaimana?'
bbc.com - 10 Oktober 2025
Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang meminta masyarakat berdonasi Rp1.000 per hari secara sukarela untuk solidaritas sosial, dikritik sejumlah warga dan pakar keuangan daerah karena seakan "melegalkan pungutan liar".
Sebab kalau merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pungutan oleh pemda hanya diperbolehkan dalam 2 bentuk: pajak daerah dan retribusi.
Itu sebabnya Dedi Mulyani didesak mencabut surat edaran anyarnya tersebut lantaran rawan dikorupsi. Apa alasan warga menolak?
Seperti apa isi surat edarannya?
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menerbitkan Surat Edaran nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) pada 1 Oktober 2025.
Dalam Bahasa Sunda, rereongan berarti gotong royong atau saling membantu, sapoe berarti satu hari, dan sarebu artinya seribu. Sehingga bisa diartikan sebagai gerakan gotong royong dengan menyumbang seribu rupiah setiap hari.
Pada surat edaran tersebut, Dedi Mulyadi mendasarkan keputusannya pada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Aturan itu menyebutkan bahwa masyarakat memiliki peran dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa, kesetiakawanan sosial, dan kearifan lokal.
Tertulis di situ, dalam rangka meningkatkan rasa kesetiakawanan sosial kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta sebagai upaya memperkuat pemenuhan hak dasar masyarakat di bidang pendidikan serta kesehatan yang masih terkendala keterbatasan anggaran dan akses, Pemda Jabar menginisiasi program partisipatif tersebut.
Gerakan ini, seperti yang tertera dalam surat edaran, disebut menjadi wadah donasi publik resmi untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang sifatnya darurat dan mendesak dalam skala terbatas pada bidang pendidikan dan kesehatan.
Untuk itulah Pemda Jabar mengimbau dan mengajak setiap ASN di lingkungan pemda provinsi-kabupaten-kota maupun swasta, siswa sekolah dasar maupun menengah, dan warga masyarakat agar menyisihkan Rp1.000 per hari sebagai bentuk kesetiakawanan dan kesukarelaan sosial.
Demi mengoptimalkan pelaksanaan donasi, dana itu akan dikumpulkan melalui rekening khusus yang dibuat oleh masing-masing instansi/sekolah/lingkungan masyarakat melalui Bank BJB.
Kemudian, pengumpulan, penyaluran, pencatatan, dan pelaporan penggunaan dana donasi dilakukan pengelola setempat.
Uang hasil donasi lantas diklaim akan disalurkan untuk keperluan bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat yang membutuhkan—yang sifatnya darurat dan mendesak dalam skala terbatas.
Respons warga: 'Kalau dikorupsi bagaimana?'
Hanya saja, tak semua warga setuju dengan ide Gubernur Dedi Mulyadi.
Firmansyah, warga Purwakarta, terang-terangan menolak Rereongan Sapoe Sarebu. Ia merasa tidak melihat alasan urgen di balik gagasan tersebut.
Pria 48 tahun ini juga mempertanyakan pengelolaan dana yang terkumpul nanti.
"Saya tidak akan nurut [gerakan itu]. Status sumbangannya apa? Apakah ini zakat? Sedekah? Infaq atau apa?" tanyanya.
"Kalau dari kacamata hukum Islam kan jelas, misalnya berinfaq harus jelas peruntukannya untuk apa, harus ada lembaga yang mengurus. Bersedekah pun sama, ada Baznas yang mengurus. Makanya saya akan patuhi 2,5 persen zakat maal."
"Sekarang gubernur mengeluarkan aturan itu untuk apa? Ini kalau dikorupsi bagaimana? Saya tidak akan menuruti," katanya tegas.
Sikap yang sama juga diutarakan Happy, warga Kota Bandung. Ia menolak ajakan berdonasi Rp1.000 per hari.
Menurut ibu rumah tangga ini, program sosial serupa sebetulnya sudah ada di Kota Bandung, salah satunya Sabilulungan—program hibah dan bantuan sosial pemkot yang dananya bersumber dari anggaran pemerintah dan partisipasi warga.
"Enggak setuju sih, karena di Kota Bandung juga banyak program sosial seperti Sabilulungan, program bantuan pangan, jaminan kesehatan, dan Program Keluarga Harapan," imbuhnya.
"Coba itu saja dibenahi dan memanfaatkan dana Sabilulungan. Jangan bertumpuk-tumpuk dengan program yang sudah ada," ungkapnya.
Perempuan 49 tahun ini juga bilang meskipun dalam surat edaran disebutkan donasi bersifat sukarela, tetapi pada kenyataannya bakal menjadi kewajiban.
Dan, walaupun nominalnya terlihat kecil, namun kalau diakumulasi sebulan plus dikalikan jumlah anggota keluarga, maka angkanya jadi sangat besar. Baginya itu hanya menambah beban.
"Iya sukarela, tapi karena ada surat edaran, pasti rela tidak rela, jadinya harus rela. Karena ada perasaan tidak enak kalau kita tidak ikut dalam program ini."
"Bayangkan satu anaknya empat orang, harus bayar Rp80.000, belum ditambah ayah dan ibunya," katanya mengeluh.
Lain halnya dengan Dani Hamdan. Dia melihat ada sisi baik dari donasi tersebut selama peruntukannya untuk pembangunan.
Selain itu nilai positif dari ide ini bisa mengajarkan kepada siswa soal kesetiakawanan sosial.
"Kalau mereka dibiasakan urunan untuk kebaikan Jawa Barat, berarti dari kecil dilatih untuk menjadi seorang filantropis. Itu bagus. Yang kedua, mengajarkan anak untuk membangun solidaritas," ungkap pria 51 tahun ini.
Meskipun begitu, dia menyimpan khawatir kalau-kalau program ini bisa memicu korupsi. Karenanya Dani meminta agar transparansi dan akuntabilitas penggunaan uang ini diperhatikan betul.
Setiap warga yang menyumbang Rp1.000 setidaknya harus punya akses memantau penyaluran uangnya kepada siapa dan berapa banyak.
Untuk itulah, Dani bilang untuk saat ini masih akan memantau terlebih dahulu.
"Saya kan wait and see dalam waktu dua atau tiga bulan. Saya ingin melihat dulu sistem yang saya inginkan tadi terbangun tidak. Kalau enggak mah, jangan. Ini bukan soal pelit-pelit amat, tapi saya sebagai warga Jabar dan keluarga saya tidak mau menjadi bagian dari sistem yang buruk dalam hal pengelolaan keuangan."
Melegalkan pungutan liar?
Analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Eduardo Edwin Ramda, menilai Surat Edaran yang meminta warga berdonasi Rp.1000 per hari ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Kalau bersandar pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pungutan oleh pemda hanya diperbolehkan dalam 2 bentuk: pajak daerah dan retribusi.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial—seperti yang dirujuk Dedi Mulyani—memang kepala daerah diperbolehkan mengumpulkan sumbangan masyarakat bagi kepentingan kesejahteraan sosial.
Tetapi, kata Edwin, ada catatan bahwa dana tersebut "tidak boleh diatur secara nominal dan tak boleh dipungut dengan proses yang sarat pemaksaan".
Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2017 yang mengatur tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengumpulan dan Penggunaan Sumbangan Masyarakat bagi Penanganan Fakir Miskin, juga menekankan "sumbangan bersifat sukarela dan tanpa paksaan".
"Secara teknis bahkan dijelaskan pengumpulan hasil sumbangan masyarakat harus dicatat sebagai hibah, bukan diserahkan ke masing-masing satuan dan unit masyarakat," jelasnya.
Berkaca pada aturan itu saja, katanya, maka gerakan donasi yang digagas Dedi Mulyadi bisa dibilang "melegalkan pungutan liar".
Itu mengapa dia mendesak Gubernur Jabar mencabut surat edaran tersebut, ketimbang memicu masalah baru di lapangan.
"Bahasa di atas imbauan, tapi bisa jadi di bawah nadanya jadi pemaksaan. Misalnya ada ormas yang mengklaim dari pemda tiba-tiba keliling rumah meminta donasi," cetus Edwin.
"Orang-orang yang tidak mau berdonasi malah bisa dipersekusi secara sosial, dikatain pelitlah dan sebagainya."
"Jadi surat edaran ini banyak celah yang bisa dimanfaatkan oknum-oknum tertentu," imbuhnya.
Peneliti kebijakan anggaran publik dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Gurnadi Ridwan, mengkhawatirkan situasi serupa.
Dia bilang, meskipun nominal Rp1.000 terbilang kecil, tapi jika dikalikan dengan jumlah penduduk Jawa Barat yang mencapai 51 juta jiwa, totalnya sangat besar.
Hitungan KPPOD bahkan menyebut bisa setara APBN.
Dan, kalau sudah menyangkut soal dana jumbo, sangat rawan penyelewengan. Dana yang sedianya untuk pendidikan dan kesehatan bisa disalahgunakan untuk mengongkosi birokrasi dan pejabat daerah.
"Yang jadi masalah bagaimana Dedi Mulyadi memastikan donasi yang banyak itu bisa dipertanggungjawabkan? Berapa uang yang masuk, keluar, dan digunakan untuk apa?" tanyanya.
"Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah dan tidak semua perangkat di tingkat RT/RW sampai pemda punya kapasitas yang sama. Ini jadi rentan pintu masuk bancakan."
"Kalau penggunaannya tidak transparan dan akuntabel, masyarakat yang dikutip uangnya bisa protes pada instansi terkait, timbul masalah baru," bebernya.
Tapi lepas dari itu, Ridwan dan Edwin menilai inisiatif Gubernur Jawa Barat ini tak lepas dari kebijakan pemerintah pusat yang memotong dana Transfer Ke Daerah (TKD) demi efisiensi.
Dalam APBN 2026, dana TKD diputuskan sebesar Rp693 triliun. Jumlah itu sebetulnya sudah ditambah dari sebelumnya Rp650 triliun. Hanya saja, masih lebih rendah dari alokasi 2025 yang mencapai Rp919,9 triliun.
Itu artinya, rata-rata setiap daerah dipotong sekitar 20%-30% untuk level provinsi dan 60%-70% untuk kabupaten/kota.
Sejumlah gubernur di Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) mendatangi kantor Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada Selasa (07/10).
Mereka mengatakan tidak setuju dengan pemangkasan TKD karena ada beban pembayaran PPPK dan belanja infrastruktur yang diklaim cukup besar.
Gara-gara pemotongan TKD, sejumlah daerah—termasuk Kabupaten Pati—sempat menaikkan pajak PBB hingga 250%. Meski akhirnya dibatalkan lantaran ditolak warga.
"Pemangkasan ini yang menciptakan gelombang-gelombang kreatifitas, yang akhirnya menimbulkan resistensi di masyarakat," ujar Edwin.
"Banyak daerah kehabisan akal [menambal APBD]."
Di Jawa Barat, realisasi pendapatan dalam APBD hingga semester I tahun 2025 hanya 44,72% dan berada di peringkat ke-11 secara nasional.
Angka itu menurun jika dibandingkan dengan semester I tahun 2024 sebesar 49%.
Mayoritas pendapatan daerah masih bergantung pada pajak kendaraan bermotor. Salah satunya didapat lewat program penghapusan denda pembayaran pajak kendaraan.
Sedangkan dari sektor lain, seperti pariwisata, belum dimaksimalkan.
Untuk menambal keterbatasan anggaran, Edwin menduga Gubernur Dedi Mulyadi memanfaatkan sumbangan masyarakat.
"Dugaan saya inisiatif seperti ini akan dicek ombak dulu, bagaimana respons masyarakat. Kalau setuju-setuju saja, pasti akan ditiru daerah lain."
"Saya sih tidak kaget kalau ke depannya akan ada kebijakan-kebijakan aneh yang dilakukan daerah menyangkut uang."
'Ini kearifan lokal yang sudah ada sejak dulu'
Sekretaris Daerah Jawa Barat, Herman Suryatman, mengatakan Surat Edaran Gubernur Dedi Mulyadi yang diterbitkan 1 Oktober lalu itu sudah diedarkan ke bupati dan wali kota se-Jawa Barat.
Termasuk kepala perangkat daerah di lingkungan Pemda Provinsi Jabar, serta Kantor Wilayah Kementerian Agama Jabar.
Artinya, gerakan berdonasi sudah berlaku sejak dikirimkan.
Sasaran kegiatan ini, katanya, memang untuk masyarakat luas yang mencakup pemda dan instansi pemerintah, sekolah, dan warga.
"Tapi sekali lagi, itu ajakan, imbauan, dan faktanya kegiatan rereongan itu sudah ada, seperti ada Rereongan Sarupi, Jimpitan, Beas Perelek," paparnya.
"Jadi ini bukan kegiatan baru, bukan kearifan baru, ini kearifan lokal yang sudah ada sejak dulu. Cuma ada yang masih efektif ada yang sudah mulai luntur."
Melalui gerakan Poe Ibu, klaimnya, gubernur ingin mengingatkan kembali akan kearifan lokal, gotong royong, dan kesetiakawanan sosial yang sudah ada sejak dulu dengan mengajak gerakan donasi Rp1.000 per hari.
Uang yang terkumpul nantinya akan digunakan untuk kepentingan warga, akunya.
"Misal untuk pendidikan, ada warga yang tidak mampu butuh seragam sekolah. Kemarin ada kejadian tuh anak tukaran baju, prihatin juga."
"Demikian pula misalnya kalau ada warga yang sakit. Sakitnya ditanggung oleh BPJS, tetapi untuk orang yang menunggunya, butuh ongkos dan makan. Itu kan bisa diselesaikan dengan donasi tersebut yang dilakukan di lingkungan setempat."
Soal bentuk penggalangan donasi, sambung Herman, sangat fleksibel disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat.
Bisa melalui kencleng sekolah, iuran warga di lingkungan RT/RW, atau transfer melalui rekening khusus Bank BJB yang bisa dibuat dengan format nama rekening Rereongan Poe Ibu atau nama instansi/sekolah/unsur masyarakat.
Donasi pun, ucapnya, tidak terbatas dalam bentuk uang, tapi juga bisa dalam bentuk beras atau barang kebutuhan lainnya.
Dalam hal transparansi, laporan penggunaan dana akan disampaikan kepada publik melalui aplikasi Sapawarga dan Portal Layanan Publik Pemda Provinsi Jawa Barat.
Laporannya juga dapat diumumkan melalui akun media sosial masing-masing dengan mencantumkan tagar resmi #RereonganPoeIbu #nama instansi/sekolah/unsur masyarakat. Monitoring pelaksanaan gerakan dilakukan sesuai lingkup masing-masing.
Di lingkungan perangkat daerah, pengawasan dilakukan oleh kepala perangkat daerah di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Di instansi pemerintah lainnya dan swasta, pengawasan berada di tangan pimpinan instansi.
Sementara, pengawasan di sekolah atau madrasah dilakukan oleh kepala sekolah dengan koordinasi Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama. Sedangkan di lingkungan atau RT/RW, dilaksanakan oleh Kepala Desa/Lurah, serta koordinasi keseluruhannya dilaksanakan oleh Camat.
Herman mengatakan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov Jabar telah memulai gerakan tersebut dan mendirikan posko Bale Pananggeuhan di Gedung Sate.
Ia mengklaim, ASN Pemprov Jabar menyambut antusias gerakan ini.
"Kemarin [Senin, 6/10] sudah mulai uji coba. Sekarang sudah efektif. Ada 57 orang warga yang datang dan 23 orang warga yang minta bantuan masalah kesehatan dan pendidikan."
"Tadi, ada yang dapat bantuan Rp1 juta, ada yang Rp500.000, ada yang Rp300.000 ya sesuai dengan kebutuhan mereka. Kami bantu langsung, salurkan langsung."
"Tentu kami minta KTP-nya supaya jangan sampai ada yang menyalahgunakan. Walaupun bantuan dananya terbatas, ini dana titipan dari teman-teman secara sukarela. Jadi harus akuntabel, amanah. Kami catat," jelasnya.
Menyikapi pro dan kontra masyarakat terkait Rereongan Poe Ibu, Herman menegaskan kembali gerakan tersebut hanya imbauan dan ajakan. Bukan kewajiban.
"Ini bagi yang mampu. Bagi yang keberatan, ya enggak apa-apa. Apalagi bagi yang tidak mampu, ya sudah justru harus dibantu sama kita yang mampu."
Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cvg4j93gyjvo.amp
Dibaca 140 kali