. Relasi Kepala Daerah dan Wakilnya Mulai Tak Harmonis, Kemendagri Turunkan Tim Gabungan
Logo KPPOD

Relasi Kepala Daerah dan Wakilnya Mulai Tak Harmonis, Kemendagri Turunkan Tim Gabungan

- 6 Oktober 2025

Relasi Kepala Daerah dan Wakilnya Mulai Tak Harmonis, Kemendagri Turunkan Tim Gabungan

Belum genap setahun dilantik, sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah di Jawa Timur terlihat mulai menunjukkan ketidakselarasan dalam pemerintahan. Kementerian Dalam Negeri pun menurunkan tim gabungan untuk menelusuri konflik itu. Hasilnya akan ditindaklanjuti untuk mengatasi masalah tersebut.

Ketegangan antara bupati dan wakil bupati mencuat di Kabupaten Jember dan Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Wakil Bupati Jember Djoko Susanto melaporkan Bupati Jember Muhammad Fawait ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan.

Sementara di Kabupaten Sidoarjo, Wakil Bupati Mimik Idayana menyebut tidak pernah dilibatkan oleh Bupati Sidoarjo Subandi dalam pengambilan keputusan strategis seperti penunjukan kepala dinas dan penyusunan struktur organisasi birokrasi daerah.

Kedua pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah itu sama-sama dilantik secara serentak oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara pada 20 Februari 2025. Setelah pelantikan, mereka juga mengikuti kegiatan retret kepala daerah di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah.

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benni Irwan saat dihubungi, Rabu (1/10/2025), menuturkan, persoalan yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo dan Jember sudah menjadi atensi dari pemerintah pusat. Kemendagri menurunkan tim gabungan yang dipimpin oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Inspektorat Jenderal Kemendagri ke Sidoarjo dan Jember.

”Saat ini, tim sudah di Sidoarjo untuk mendapatkan keterangan dari pihak-pihak terkait, termasuk dengan bupati dan wakil bupati,” kata Benni.

Tim gabungan terlebih dulu datang untuk menginvestigasi persoalan di Kabupaten Sidoarjo. Setelah itu, mereka akan bergerak ke Kabupaten Jember untuk mendapatkan keterangan dari sejumlah pihak di sana. Hasil kunjungan langsung ke lapangan itu akan menjadi dasar tindak lanjut pembinaan dan pengawasan Kemendagri berdasarkan aturan yang berlaku.

Menurut Benni, hasil pemeriksaan lapangan di daerah itu penting untuk memahami duduk perkara ketidakselarasan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Adapun regulasi yang akan dirujuk oleh Kemendagri adalah Pasal 65 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan itu mengatur tugas dan kewenangan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf Macan Effendi memandang hubungan tidak harmonis antara kepala daerah dan wakilnya terus berulang. Dia menilai, akar masalahnya adalah pembagian tugas dan wewenang yang tidak adil.

Padahal, pada saat proses pemilihan kepala daerah, calon pasangan kepala daerah biasanya menanggung beban yang sama, mulai dari pendaftaran hingga kampanye. Namun, saat terpilih, kata Dede, wakil kepala daerah terbentur oleh tugas yang terbatas dan hanya membantu kepala daerah.

”Pada dasarnya mereka berpasangan, berkampanye bersama. Tentu dengan dukungan partai dan biaya politik bersama. Namun, ketika sudah terpilih, undang-undang dan PP (peraturan pemerintah) mengatur wakil kepala daerah itu tugasnya hanya membantu kepala daerah atau ditugaskan untuk tugas-tugas tertentu,” tutur Dede.

”Nah, di sini titik masalah itu terjadi, (yakni) ketika dirasa pembagian tugas dan kewenangan itu tidak adil, bahkan cenderung tidak sesuai dengan komitmen bersama. Itu sebabnya konflik-konflik seperti ini akan selalu terjadi. Apalagi, jika mereka berasal dari beda partai,” lanjut Dede.

Oleh karena itu, Dede beranggapan peran kepala daerah dan wakilnya perlu diatur lebih jauh lagi dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Hal ini untuk menghindari perdebatan antar-pasangan kepala daerah ini. Namun, Dede tetap mengingatkan tidak boleh ada dualisme kepemimpinan.

”Mungkin ke depan perlu diatur lebih jauh lagi mengenai tugas dan fungsi wakil kepala daerah, juga diberikan kewenangan dan tanggung jawab tertentu. Bukan hanya membantu sehingga mereka bisa melaksanakan tugas tanpa perdebatan. Walaupun pada akhirnya tidak boleh ada matahari kembar,” ucapnya.

Dede juga memberikan catatan kepada partai politik dalam mempertimbangkan pasangan calon yang diusung. Dia menilai perlu adanya hubungan yang intens di antara pasangan calon ini sehingga komitmen mereka tidak hanya masalah wewenang, tetapi juga mengedepankan kepentingan rakyat.

”Pasangan ini harus sebelumnya memiliki hubungan yang intens dari awal, bukan hanya kagetan menjelang pilkada, sehingga komitmen untuk menjadi pelayan publik bagi rakyatnya di atas segala kepentingan partai atau individu,” kata Dede.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, masalah konflik kepala daerah dengan wakil kepala daerah sudah sering terjadi. Misalnya, konflik antara Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung periode 2019-2023. Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim mengundurkan diri dari jabatannya. Menurut Gubernur Lampung Arinal Djunaidi, mundurnya wakil gubernurnya itu karena ada perintah dari partai politik pendukungnya.

Adapun Wakil Bupati Indramayu 2021-2024 Lucky Hakim juga mengundurkan diri karena merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Akar persoalan
Herman menilai akar persoalan konflik itu adalah karena memang peran wakil kepala daerah yang tidak terlalu signifikan jika dilihat di UU No 23/2014 tentang Pemda. Kehadiran wakil kepala daerah hanya jelas saat kepala daerahnya berhalangan sementara atau menjalani masa tahanan. Tanpa situasi dan kondisi berhalangan itu, peran wakil kepala daerah sangat bergantung pada penugasan kepala daerahnya.

”Di dalam UU Pemda, yang disebut dengan pemimpin pemerintah daerah itu kepala daerah. Kemudian, kepala daerah itu dapat diwakili oleh wakil kepala daerah. Jadi, kata ’dapat’ itu sifatnya sangat opsional sehingga kehadiran wakil kepala daerah sangat bergantung pada seperti apa penugasan dari kepala daerahnya sendiri. Itu yang kami lihat menjadi salah satu akar persoalan di dalam UU Pemda,” tutur Herman.

Persoalan ketidakharmonisan kepala daerah dan wakilnya juga kerap terjadi sebagai dampak dari proses pencalonan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Sering kali, mereka disandingkan bukan karena kesamaan visi dan misi. Namun, lebih kepada hal-hal pragmatis seperti elektabilitas di dalam proses kandidasi. Alhasil, saat mereka terpilih dan bersama-sama memimpin daerah, ada friksi terkait visi misi mereka dalam menjalankan proses pemerintahan.

”Dimensi kesamaan visi dan misi saat proses pencalonan ini juga perlu mendapatkan perhatian utama dari partai politik saat menyandingkan bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah sehingga tidak mengganggu jalannya pemerintahan daerah ketika mereka sudah memimpin,” ujar Herman.

Dalam konteks masalah di Kabupaten Sidoarjo dan Jember, menurut Herman, diharapkan ada proses pengawasan berjenjang dari gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Saat terjadi konflik antara bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota, gubernur semestinya bersikap proaktif untuk mendamaikan.

Mengingat potensi konflik antara kepala daerah dan wakil daerah bisa terjadi kapan pun, Kemendagri sebagai pembina dan pengawas daerah pun diharapkan mengeluarkan kebijakan untuk memitigasi potensi friksi antara kepala daerah dan wakilnya.

Kemendagri, menurut Herman, perlu mengeluarkan surat edaran (SE) atau peraturan menteri dalam negeri (permendagri) agar bisa menjadi pedoman bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan daerah.

”Itu bisa menjadi rujukan dan pedoman agar kepala daerah dan wakil kepala daerah bisa secara bersama-sama berkolaborasi tanpa friksi-friksi tertentu di daerah,” kata Herman.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/kepala-daerah-dan-wakilnya-mulai-berkonflik-kemendagri-turunkan-tim-gabungan


Dibaca 112 kali