. Raperda KTR Jakarta Perlu Fokus Pada Larangan Penjualan Rokok ke Anak
Logo KPPOD

Raperda KTR Jakarta Perlu Fokus Pada Larangan Penjualan Rokok ke Anak

hukumonline.com - 23 September 2025

Raperda KTR Jakarta Perlu Fokus Pada Larangan Penjualan Rokok ke Anak

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai sejumlah ketentuan dalam draf Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta berpotensi menimbulkan persoalan baru, terutama dari sisi ekonomi yang bisa membebani pedagang kecil dan pelaku usaha mikro.

Analis Kebijakan KPPOD, Eduardo E. Ramda, menjelaskan kebijakan larangan penjualan rokok dalam radius tertentu, seperti 200 meter dari sekolah atau tempat bermain anak tidak serta-merta menjawab persoalan kesehatan. 

“Kami melihat bahwa setelah larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan atau tempat bermain anak, itu berdampak negatif terhadap sektor ritel, khususnya pedagang kecil. Larangan ini bisa menimbulkan kerugian ekonomi lebih luas. Menurut kami, ketentuan kunci seharusnya ada pada larangan penjualan rokok kepada anak di bawah umur, bukan pada jarak lokasi penjualan,” katanya dalam Diskusi Publik “Menyeimbangkan Kesehatan dan Ekonomi: Update Raperda KTR DKI Jakarta”, Senin (22/9).

Menurutnya, penekanan pada larangan menjual kepada anak jauh lebih tepat ketimbang mengatur lokasi penjualan. Ia mencontohkan, warung ada di depan sekolah sekalipun, aturan bisa ditegakkan dengan memastikan anak sekolah tidak bisa membeli. Maka ia mengingatkan, jangan sampai demi melindungi anak, kebijakan justru merugikan UMKM dengan melarang penjualan di wilayah tertentu.

Eduardo juga menyoroti pengaturan dalam Raperda KTR masih minim, terutama terkait kewajiban pengelola kawasan. Menurutnya, aturan hanya mengatur soal larangan merokok di area tertentu, tetapi tidak menjelaskan secara detail mengenai ruang khusus merokok.

“Kewajiban pengelola KTR itu belum lengkap. Perda hanya mengatur pengawasan internal di zona KTR, tapi tidak ada aturan eksplisit tentang tanda atau petunjuk ruang merokok. Padahal, kalau kita bicara ruang khusus merokok, biasanya ada aturan ventilasi, tata letak, dan tanda jelas seperti di bandara. Kalau ini tidak ada, akhirnya orang mencari tempat terdekat untuk merokok, dan upaya pengendalian perilaku menjadi tidak efektif,” ujarnya.

KPPOD juga mengkritik proses pembahasan Raperda yang sudah sampai pada pasal 17 mengenai sanksi. Menurut Eduardo, hal itu menunjukkan substansi aturan telah disepakati tanpa mempertimbangkan masukan dari pelaku usaha. Kalau sanksinya sudah dibahas, kata dia, artinya substansinya sudah disetujui. Padahal, ketentuan seperti larangan pajangan produk, larangan iklan, promosi, dan sponsorship, masih banyak diperdebatkan.

Eduardo juga menilai pembatasan seperti pelarangan total iklan, promosi, dan sponsorship rokok tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

“Keputusan Mahkamah Konstitusi sendiri menyebutkan bahwa pelarangan total terhadap iklan, promosi, dan sponsorship tidak bisa diterapkan. Jadi kalau Raperda memaksakan, itu justru bertentangan dengan hukum yang ada,” jelasnya.

Selain itu, larangan memajang rokok di etalase juga dinilai bertentangan dengan prinsip hak konsumen. Baginya, melarang pajangan produk rokok berarti mengurangi hak konsumen atas informasi.

Eduardo menegaskan, perluasan cakupan kawasan tanpa rokok yang diusulkan Pemprov DKI Jakarta juga tidak sejalan dengan regulasi di tingkat nasional, khususnya PP No. 28 Tahun 2024 dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Ketentuan di PP maupun UU itu sifatnya closed list, artinya tempat-tempat yang masuk kawasan tanpa rokok terbatas dan sudah jelas. Tidak ada tambahan kategori tempat lain. Tapi Raperda DKI justru memperluas. Ini yang perlu dipertanyakan, apakah relevan dan punya dasar hukum yang kuat?” tuturnya.

Lebih jauh, ia mengingatkan jika aturan dipaksakan tanpa mempertimbangkan realitas di lapangan maka regulasi hanya akan menimbulkan polemik baru.

“Hak dan kewajiban itu harus diperhatikan dan jangan sampai menimbulkan goncangan karena sektor perekonomian. Banyak pedagang bahkan tidak tahu ada penyusunan Raperda ini. Bisa dibayangkan kalau tiba-tiba aturan diberlakukan tanpa sosialisasi memadai, mereka akan kaget. Proses partisipasi publik seharusnya lebih inklusif, agar semua pihak terdampak bisa menyampaikan pandangan,” kata Eduardo.

Masuk Tahap Pembahasan

Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menegaskan Raperda Kawasan KTR saat ini sudah masuk ke tahap pembahasan di DPRD DKI Jakarta. Raperda tersebut dinilai menjadi momentum penting bagi Jakarta untuk menunjukkan komitmennya sebagai kota global dengan standar kesehatan masyarakat yang lebih baik.

Perwakilan Dinas Kesehatan Pemprov DKI Jakarta, Administrator Kesehatan Ahli Madya, Intan Kusumawati, mengatakan Raperda KTR sejatinya sudah diserahkan eksekutif kepada legislatif untuk dibahas. Prosesnya pun kini berada sepenuhnya di tangan DPRD.

“Jadi saat ini memang betul sekali seperti yang disampaikan, kita masih dalam proses pembahasan Raperda KTR. Raperda ini sudah disampaikan oleh eksekutif kepada legislatif, dan sekarang menjadi milik legislatif untuk dibahas. Kami juga sudah melakukan rapat dengar pendapat beberapa waktu lalu,” ucapnya pada kesempatan yang sama.

Ia menegaskan, setiap masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan sudah dicatat untuk dipertimbangkan lebih lanjut. “Masukan-masukan dari Bapak-Ibu semua sudah kami perhatikan. Kami ingin menyusun aturan ini bersama-sama, dengan keyakinan bahwa baik legislatif maupun eksekutif memiliki niat yang sama, yaitu memberikan yang terbaik bagi seluruh warga Jakarta,” ujarnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Perwakilan Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta, Analis Perundang-Undangan, Riski Ade Putra Utama. Menurutnya, perjalanan Raperda KTR ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak satu dekade lalu.

“Kalau kita tarik ke belakang, sejarah Raperda ini sudah dimulai sejak 2014-2015, ketika masuk ke Prolegda. Pada 2022, naskah akademik sudah sempat disampaikan dan diharmonisasi oleh Kementerian Hukum dan HAM. Namun baru pada periode DPRD 2024-2025 ini dibentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahasnya,” jelas Riski.

Ia menegaskan, saat ini Raperda sudah sampai pada pembahasan Pasal 17 tentang sanksi. Namun, eksekutif tidak bisa serta-merta mengubah pasal yang ada karena posisinya sudah resmi masuk ke ranah legislatif.

“Kami tidak bisa mengubah pasal atau ayat secara langsung, karena sejak diserahkan, Raperda sepenuhnya menjadi kewenangan DPRD. Masukan dari masyarakat sebaiknya disampaikan melalui Ketua DPRD, Ketua Badan Pembentukan Perda (Bapemperda), atau Ketua Pansus,” katanya.

Lebih lanjut, Riski juga menjelaskan penyusunan Raperda KTR DKI harus tetap mengacu pada regulasi nasional yang sudah ada. Beberapa aturan, seperti larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan 500 meter untuk iklan, sudah diatur di Peraturan Pemerintah.

“Kalau ada masukan agar aturan jarak itu ditinjau ulang, sebaiknya juga disampaikan ke pemerintah pusat untuk merevisi PP terkait. Karena selama PP tersebut masih berlaku maka otomatis kita di daerah juga wajib menyesuaikan. Raperda ini disusun dalam kondisi regulasi di atasnya sudah ada, sehingga ruang gerak kita terbatas,” ujarnya.

Menurutnya saat ini masih ada beberapa daerah yang belum memiliki Perda KTR, termasuk DKI Jakarta. Oleh karena itu, penyusunan Raperda KTR menjadi penting agar Jakarta tidak tertinggal dalam hal perlindungan kesehatan publik.

Biro Hukum Pemprov DKI pun mendorong masyarakat, pelaku usaha, dan organisasi sipil untuk terus menyampaikan pandangan mereka terkait Raperda KTR. Masukan tersebut dapat diberikan secara resmi kepada DPRD sebagai pihak yang kini memegang kendali pembahasan.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/raperda-ktr-jakarta-perlu-fokus-pada-larangan-penjualan-rokok-ke-anak-lt68d150a127f4c/?page=all


Dibaca 72 kali