. Raperda KTR Jakarta, Tantangan Menjaga Ruang Publik Sehat Tanpa Mematikan Usaha Rakyat
Logo KPPOD

Raperda KTR Jakarta, Tantangan Menjaga Ruang Publik Sehat Tanpa Mematikan Usaha Rakyat

kompas.id - 23 September 2025

Raperda KTR Jakarta, Tantangan Menjaga Ruang Publik Sehat Tanpa Mematikan Usaha Rakyat

Pembahasan pasal demi pasal dalam Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta ditargetkan rampung bulan ini. Akan tetapi, prosesnya dinilai perlu ditempuh dengan hati-hati agar bisa menyeimbangkan kepentingan kesehatan masyarakat dengan keberlangsungan ekonomi.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman mengatakan, kebijakan yang terlalu membatasi berpotensi berdampak serius terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

”Masalah kebijakan kawasan tanpa rokok ini ada tegangan dua kepentingan, yakni dari sisi kesehatan dan dari sisi ekonomi,” ujarnya di Jakarta Selatan, Senin (22/9/2025) sore.

Berdasarkan kajian KPPOD, substansi Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) di Jakarta banyak mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2014 tentang Kesehatan. Namun, sejumlah ketentuan, seperti larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sarana pendidikan serta pembatasan reklame dalam radius 500 meter, dianggap terlalu luas dan bisa memukul aktivitas usaha.

”Kami sudah mewawancarai pelaku usaha, termasuk pedagang kecil di sekitar sekolah. Kalau aturan ini diterapkan, hampir semua wilayah Jakarta bisa dilarang menjual rokok. Ini akan mematikan usaha mereka,” kata Herman.

KPPOD khawatir kebijakan tersebut justru kontraproduktif terhadap iklim usaha dan pertumbuhan ekonomi, dengan kelompok rentan seperti UMKM yang paling merasakan dampaknya. Herman mengusulkan agar Pemerintah Provinsi Jakarta dan Panitia Khusus (Pansus) Raperda KTR mencari opsi lain yang lebih seimbang.

Menurut Herman, dampak dari pembatasan penjualan dan iklan rokok tidak hanya dirasakan oleh industri rokok, tetapi juga seluruh ekosistem industri hasil tembakau, mulai dari petani, produsen, distributor, hingga sektor periklanan. Bahkan, ia menilai efek lanjutan bisa terasa pada okupansi hotel dan konsumsi restoran, yang pada akhirnya mengurangi pendapatan daerah dari pajak hotel dan restoran.

Meski begitu, KPPOD menegaskan, pihaknya tidak menolak regulasi KTR, tetapi mendorong agar pembahasannya lebih inklusif dan melibatkan semua pemangku kepentingan.

”Kami berharap pansus membuka ruang dialog dengan semua pihak agar kebijakan yang dihasilkan tetap melindungi kesehatan tanpa mematikan ekonomi,” katanya.

Dari sisi hukum, Ali Rido, Ketua Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Trisakti, menilai penyusunan naskah akademik dan draf Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok masih terkesan terburu-buru.

Ia menyoroti Bab IV naskah akademik yang masih mencantumkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif sebagai landasan hukum, padahal keduanya sudah dicabut dan digantikan dengan regulasi yang lebih baru.

Selain itu, Ali Rido menilai bahwa larangan total terhadap iklan, promosi, dan sponsorship rokok yang dimuat dalam draf Raperda KTR tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VII/2009. Putusan tersebut menegaskan bahwa iklan, promosi, dan sponsorship rokok masih diperbolehkan sepanjang mengikuti ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan evaluasi tersebut, ia menyampaikan bahwa Raperda KTR Jakarta sebaiknya diformulasikan ulang atau bahkan ditangguhkan sementara waktu. Menurut dia, pembahasan harus ditempuh secara obyektif dengan mempertimbangkan aturan lain yang relevan agar produk hukum yang dihasilkan tidak cacat secara formil ataupun materiil.

Khawatir terdampak
Perwakilan dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Arini, juga menilai rencana penerapan Raperda KTR perlu dikaji secara cermat. Menurut dia, permintaan terhadap ruang merokok masih cukup tinggi, terutama di hotel dan restoran.

”Di banyak hotel, permintaan area merokok itu tetap ada. Begitu juga di bagian restoran, biasanya ada area outdoor khusus untuk tamu yang merokok,” ujar Arini.

Ia berpendapat, pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru menambah aturan baru yang justru bisa menyulitkan pelaku usaha. Menurut dia, yang lebih penting adalah melakukan evaluasi terhadap aturan lama serta memastikan penerapan dan pengawasannya berjalan baik.

Kritik juga datang dari sektor ekonomi rakyat. Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) menolak sejumlah pasal dalam Raperda KTR Jakarta karena dianggap memberatkan pedagang kecil.

Ketua APKLI Ali Mahsun menyatakan bahwa aturan larangan penjualan rokok di warung kecil, kewajiban menyediakan tempat khusus merokok, serta ancaman denda dan sanksi pidana berpotensi mematikan usaha mereka.

”APKLI menolak pasal-pasal dalam Raperda KTR Jakarta yang berisi larangan penjualan, kewajiban menyediakan tempat merokok di warung kecil, dan sanksi denda pidana. Itu sama saja dengan mematikan usaha ekonomi kerakyatan,” ujarnya.

Menurut Ali Mahsun, jika aturan ini diberlakukan, jutaan pedagang asongan, penjual kopi keliling, pedagang kaki lima di pasar dan pusat keramaian, hingga 1,1 juta warung kelontong akan terkena dampaknya.

Oleh karena itu, APKLI mendesak pemerintah dan DPRD untuk mempertimbangkan ulang rencana pengesahan Raperda KTR. Ali menambahkan, perlindungan terhadap kesehatan masyarakat memang penting, tetapi jangan sampai kebijakan tersebut justru meminggirkan ekonomi rakyat kecil yang sedang berjuang di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.

”Kami pelaku ekonomi kerakyatan butuh perlindungan. Kami mohon pembuat kebijakan mempertimbangkan ulang rencana ini,” katanya.

Selesai bulan ini
Secara terpisah, Pansus KTR DPRD Jakarta menargetkan pembahasan Raperda KTR selesai pada akhir September 2025. Ketua Pansus KTR Farah Savira menyatakan, pihaknya optimistis semua pasal dapat dituntaskan sesuai jadwal.

”Prinsipnya, kami tetap fokus dan optimistis bisa menyelesaikan. Tinggal butuh dukungan semua pihak, baik pimpinan dan anggota pansus maupun eksekutif, agar ada kesamaan persepsi dalam menyikapi raperda ini,” ujar Farah.

Ia menjelaskan, salah satu poin utama yang diatur adalah larangan iklan rokok di kawasan tanpa rokok. Pasal 17 juga memuat sanksi tegas tidak hanya bagi individu perokok, tetapi juga bagi sponsor hingga perusahaan rokok yang melanggar ketentuan.

”Kami tidak ingin memberikan akses semudah itu kepada anak-anak yang selama ini belum terpapar rokok,” katanya.

Adapun sanksi yang dibahas antara lain denda Rp 250.000 bagi individu yang merokok di kawasan tanpa rokok. Jika seseorang kedapatan tujuh kali melakukan pelanggaran serupa, dendanya meningkat menjadi Rp 10 juta.

Selain itu, aturan yang dibahas juga mencakup pencabutan izin bagi perusahaan iklan yang masih mempromosikan rokok di kawasan tanpa rokok. Pansus juga tengah membahas opsi sanksi sosial bagi perokok yang melanggar melalui kerja sama dengan Dinas Sosial Jakarta.

Di sisi lain, raperda ini tetap mengakomodasi kebutuhan perokok dengan mewajibkan penyediaan area khusus merokok. Pemprov Jakarta juga diwajibkan melakukan sosialisasi secara luas sebelum aturan raperda ini resmi diberlakukan.

Gubernur Jakarta Pramono Anung Wibowo memastikan keberadaan Raperda KTR tidak akan menurunkan omzet pedagang kecil. Ia menekankan bahwa regulasi tersebut lebih difokuskan pada pengendalian ruang publik agar masyarakat, terutama anak-anak dan remaja, terlindungi dari paparan asap rokok.

Pramono menyatakan, Pemprov Jakarta tetap berkomitmen menjaga keseimbangan antara aspek kesehatan masyarakat dan keberlangsungan ekonomi pedagang kecil.

”Perda tersebut tidak akan membuat UMKM menurun omzetnya. Saya ketika menyampaikan ke DPRD, salah satu concern saya itu. Jadi, pembatasan yang dilakukan tanpa rokok itu hanya di tempat-tempat yang tertutup, di mana UMKM tidak jualan di situ,” ujar Pramono.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/raperda-ktr-jakarta-perlu-keseimbangan-antara-kesehatan-dan-ekonomi


Dibaca 41 kali