RAPBN 2026: Belanja Menggelembung, Defisit Melebar
kompas.id - 23 September 2025
Defisit anggaran pemerintah pada 2026 melebar, dari 2,48 persen ke 2,68 persen terhadap produk domestik bruto. Terdapat tambahan Rp 56 triliun alokasi belanja, mayoritas untuk menambah anggaran transfer ke daerah.
Revisi postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 ini disepakati dalam Rapat Kerja Badan Anggaran (Banggar) DPR RI bersama Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Kompleks Senayan, Jakarta, Kamis (18/9/2025).
Hadir dalam rapat ini antara lain Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Hadir pula Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dan Anggito Abimanyu, serta sejumlah pejabat eselon I Bappenas.
Pemerintah bersama Banggar DPR menyepakati kenaikan anggaran transfer ke daerah atau TKD pada 2026, dari Rp 650 triliun menjadi Rp 693 triliun. Kedua pihak juga menyepakati peningkatan anggaran belanja negara lainnya.
Dengan demikian, alokasi belanja negara dalam RAPBN 2026 membengkak Rp 56 triliun, dari Rp 3.786,5 triliun menjadi Rp 3.842,7 triliun. Sementara, target pendapatan negara ditingkatkan Rp 6 triliun, dari Rp 3.147,7 triliun menjadi Rp 3.153,6 triliun.
Dengan demikian, target defisit anggaran RAPBN 2026 melebar, dari 2,48 persen menjadi 2,68 persen terhadap produk domestik bruto. Hasil revisi postur anggaran RAPBN 2026 ini akan ditindaklanjuti dalam pembahasan detail anggaran di setiap komisi DPR bersama mitra-mitra eksekutif.
Kepada wartawan usai rapat, Purbaya menjelaskan, pelebaran defisit tak lepas dari penambahan belanja negara dan transfer ke daerah. Langkah ini sebagai respons pemerintah pusat atas aspirasi dari pemerintah daerah yang khawatir pemangkasan TKD secara signifikan akan mengganggu program pembangunan di daerah.
”Tambahan Rp 43 triliun ini untuk daerah agar stabilitas sosial dan politik tetap terjaga,” ujarnya. Di sisi lain, ia menilai penyesuaian dana ke daerah penting untuk mencegah gejolak, termasuk potensi kenaikan pajak daerah yang sempat memicu protes.
Kendati alokasi anggaran TKD tahun depan ditambah, nilai total dana yang akan dialokasikan masih jauh di bawah alokasi TKD yang ditetapkan pemerintah pada 2025 sebesar Rp 848,52 triliun.
Padahal, nilai alokasi TKD tahun ini sudah dipangkas Rp 50,59 triliun dari pagu, melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Meski ada penyesuaian TKD, Purbaya memastikan manfaat ke daerah tidak akan berkurang. Ia menyebutkan terdapat belanja pusat sekitar Rp 1.300 triliun yang juga dialirkan dan dibelanjakan di daerah. ”Jadi, manfaat ke daerahnya enggak akan berkurang. Artinya, dominasi pergerakan ekonomi daerah,” katanya.
Purbaya menekankan, pihaknya akan memperketat pengawasan penggunaan anggaran daerah agar benar-benar terserap optimal. ”Apalagi nanti saya akan paksa dan monitor belanja daerah, jangan sampai terhambat seperti tahun sebelum-sebelumnya,” katanya.
Konsekuensi transfer
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu berharap penambahan anggaran TKD tersebut dapat membuat pertumbuhan ekonomi di daerah terus berlanjut. Terlebih lagi, masih ada belanja pusat yang akan diarahkan ke daerah.
”Jadi, ini kita melihat bahwa APBN dan APBD itu adalah suatu kesatuan untuk melaksanakan program-program pemerintah pusat dan daerah,” kata Febrio.
Terkait pelebaran proyeksi defisit anggaran, Febrio menilai hal tersebut sebagai konsekuensi dari penambahan alokasi TKD dan belanja pusat. Ia pun mengingtkan bahwa proyeksi defisit anggaran tahun depan masih berada di bawah outlook defisit fiskal 2025 sebesar 2,78 persen.
Jadi, ini justru sedikit menunjukkan lagi kehati-hatian pemerintah untuk kondisi fiskal. Namun, kita melihat kebutuhan untuk pertumbuhan ekonomi dan juga baik di pusat maupun belanja di daerah itu tetap menjadi prioritas.
Walaupun melebar, Purbaya menegaskan, defisit 2,68 persen PDB masih di bawah batas aman 3 persen yang diatur undang-undang. Pelebaran ini, menurut dia, menjadi langkah fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat. ”Pasar tidak perlu khawatir. Pemerintah akan menjaga defisit secara hati-hati,” katanya.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menilai, secara kualitas, arah belanja masih pro-pertumbuhan: ketahanan pangan melalui irigasi, alsintan, subsidi pupuk, cadangan beras; energi melalui subsidi yang lebih tepat sasaran berbasis data tunggal; pendidikan dengan dana BOS/BOPTN, sekolah rakyat dan sekolah unggul; kesehatan melalui perluasan PBI JKN, cek kesehatan, dan revitalisasi RS; serta penguatan desa-UMKM lewat dana desa, KUR dan UMi.
”Dengan demikian, pelebaran defisit yang relatif kecil dapat dibenarkan bila eksekusi program tepat sasaran dan daya serap tinggi karena efek pengganda ke konsumsi dan investasi bisa menutup sebagian pelebaran keseimbangan primer,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menilai, kenaikan alokasi TKD sebesar Rp 43 triliun di tahun depan tidak akan signifikan mengatasi potensi turbulensi fiskal daerah.
”Jika dibandingkan dengan APBN 2016 di mana alokasi untuk TKD ada di kisaran Rp 700 triliun, alokasi TKD tahun ini masih di bawah itu,” ujarnya.
Menurut Armand, selama ini pemerintah daerah masih sangat bergantung terhadap dana alokasi khusus (DAK) fisik, yang merupakan komponen dari TKD, untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur di daerah. Untuk sedikit meredam turbulensi fiskal di daerah, Armand berharap tambahan alokasi TKD diarahkan kepada komponen DAK Fisik.
Terukur
Menurut Josua, dampak ke sektor keuangan kemungkinan terasa, tetapi lebih bersifat terukur daripada menggoncang. Tambahan pembiayaan sekitar Rp 50 triliun menambah pasokan surat utang pemerintah. Namun, asumsi imbal hasil 10 tahun 6,9 persen dan ruang pelonggaran moneter memberi bantalan.
Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan ke 4,75 persen berdampak pada meningkatkan likuiditas dan aktif membeli SBN pasar sekunder secara terukur; sejak awal 2025 imbal hasil SBN tenor 10 tahun turun nyaris 1 persen. ”Ini menandakan kondisi pendanaan domestik relatif kondusif untuk menyerap kenaikan penerbitan,” ujarnya.
Josua juga menilai tekanan kurs akibat tambahan SBN bisa diredam karena cadangan devisa kuat, neraca pembayaran terkelola, dan kebijakan stabilisasi BI berjalan. Di sisi valas, kata Josua, prospek bank sentral global yang lebih longgar turut membantu menahan penguatan dolar global.
”Ini membuat dampak pelebaran defisit ke penurunan nilai tukar rupiah cenderung terbatas selama komunikasi fiskal konsisten,” kata Josua.
Di satu sisi, belanja pemerintah yang lebih besar mengalir ke sektor riil dan memperbaiki prospek permintaan kredit. BI juga mendorong penurunan suku bunga perbankan melalui ekspansi likuiditas, asesmen transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK), dan insentif kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM) yang memihak sektor prioritas.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/rapbn-2026-belanja-menggelembung-defisit-melebar
Dibaca 743 kali