. Asosiasi Pemerintah Kota: Penambahan Tranfers ke Daerah Rp 43 Triliun agar Tak Dibagi Rata
Logo KPPOD

Asosiasi Pemerintah Kota: Penambahan Tranfers ke Daerah Rp 43 Triliun agar Tak Dibagi Rata

kompas.id - 23 September 2025

Asosiasi Pemerintah Kota: Penambahan Tranfers ke Daerah Rp 43 Triliun agar Tak Dibagi Rata

Penambahan dana transfer ke daerah atau TKD senilai Rp 43 triliun di APBN 2026 diusulkan agar tidak dibagi rata ke daerah, tetapi disesuaikan dengan kemampuan fiskal setiap daerah. Dana itu pun diharapkan bisa menjaga standar pelayanan minimal di daerah, seperti layanan kesehatan dan pendidikan agar tetap berjalan.

”Ada daerah yang kemampuan fiskalnya kuat, sedang, dan lemah. Harapannya dengan peningkatan TKD ini, ketika ada pembagian TKD, dilihat berdasarkan kemampuan fiskal itu. Harapannya, pada pertemuan hari ini adalah TKD tidak dibagi rata, tetapi didasarkan pada penguatan fiskal setiap daerah,” ujar Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Eri Cahyadi seusai audiensi dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Jumat (19/9/2025).

Pada Kamis (18/9/2025) kemarin, pemerintah bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat RI akhirnya menyepakati kenaikan anggaran transfer ke daerah (TKD) untuk 2026, dari kesepakatan sebelumnya Rp 650 triliun menjadi Rp 693 triliun. Walakin, kondisi itu mengakibatkan proyeksi defisit dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2026 melebar, dari proyeksi awal 2,48 persen menjadi 2,68 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Seusai rapat dengan DPR, Kamis, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan, penambahan TKD ini adalah respons pemerintah pusat atas aspirasi pemerintah daerah yang khawatir pemangkasan TKD secara signifikan akan mengganggu program pembangunan di daerah.

”Tambahan Rp 43 triliun ini untuk daerah, agar stabilitas sosial dan politik tetap terjaga,” ujarnya. Purbaya menilai penyesuaian dana ke daerah penting untuk mencegah gejolak, termasuk potensi kenaikan pajak daerah yang sempat memicu protes.

Tak semua bergantung pada TKD
Eri Cahyadi, yang menjabat sebagai Wali kota Surabaya itu lebih lanjut, menyampaikan, bahwa tidak semua daerah bergantung sepenuhnya dengan TKD. Ada daerah yang nilai pendapatan asli daerah (PAD) cukup tinggi. Contohnya Kota Surabaya dengan PAD sudah mencapai 72 persen.

Namun, berdasarkan data Apeksi, masih ada juga kota dengan PAD di bawah 35 persen. Harapannya, dengan peningkatan TKD Rp 43 triliun, uang tersebut tidak dibagi rata ke setiap daerah, tetapi dibagi secara proporsional berdasarkan kapasitas fiskal setiap daerah.

”Indikatornya berdasarkan kapasitas fiskal setiap daerah. Siapa fiskal yang kuat, siapa fiskal yang lemah. Jangan sampai ada daerah yang tidak bisa membayar pegawainya,” jelas Eri.

Menurut Eri, saat ini, bagi daerah yang terpenting adalah memastikan bahwa pelayanan publik tetap berjalan maksimal untuk kepentingan rakyat. Sebab, Mendagri Tito Karnavian berpesan agar kebijakan TKD tidak mengganggu standar minimal pelayanan publik. Anggaran daerah harus tepat sasaran langsung kepada masyarakat. Anggaran yang dianggap kurang penting seperti perjalanan dinas, serta penggunaan listrik kantor pemerintah daerah pun harus dilakukan efisiensi.

”Agar ada cukup ruang fiskal untuk belanja langsung ke masyarakat,” ungkapnya.

Selain itu, daerah juga diminta mengembangkan potensi untuk menaikkan pendapatan asli daerah (PAD). Misalnya, dengan mengoptimalkan pengelolaan badan usaha milik daerah (BUMD) dan kegiatan-kegiatan pemanfaatan aset daerah.

Usulan Apeksi ditampung
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto yang ikut hadir dalam audiensi dengan Apeksi itu menyampaikan bahwa Kemendagri intens berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan untuk memastikan bahwa kebijakan pemotongan dana TKD tidak menurunkan kualitas standar pelayanan minimal di daerah. Standar pelayanan minimal yang dimaksud adalah program-program amanat undang-undang, seperti program kesehatan, pendidikan, dan pelayanan publik.

”Efisiensi atau pengurangan transfer ke daerah jangan sampai berdampak pada standar pelayanan minimal. Dan, kami mengapresiasi Kementerian Keuangan yang telah melakukan penyesuaian dengan adanya peningkatan Rp 43 triliun tadi,” ujar Bima.

Menurut mantan Wali Kota Bogor itu, Mendagri Tito juga menekankan kepada pemda agar ada akselerasi dan sinkronisasi antara program prioritas dan apa yang dijalankan oleh pemda. Sebab, saat ini memang sedang ada penyesuaian-penyesuaian APBN.

Selain meminta agar standar pelayanan minimal dipastikan berjalan dan terpenuhi, menurut Bima, pemda juga diharapkan bisa menjemput program prioritas daerah agar kebutuhan pemda bisa terpenuhi. Oleh sebab itu, Kemendagri juga akan lebih proaktif menjembatani dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Kementerian Pekerjaan Umum.

”Usulan-usulan dari Apeksi kami tampung untuk kami koordinasikan dengan kementerian dan lembaga terkait,” ujarnya.

Kemendagri juga memberikan arahan agar para kepala daerah melakukan upaya kreatif untuk meningkatkan PAD dengan tanpa memberatkan dan membebani masyarakat seperti dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang banyak diprotes masyarakat. Kenaikan pajak harus melalui analisis, sosialisasi, dan partisipasi publik yang bermakna.

Pemda juga diminta untuk menyehatkan badan usaha milik daerah (BUMD), sebab mayoritas BUMD kondisinya tidak sehat. Para kepala daerah didorong untuk berjiwa wirausaha dengan membuat upaya-upaya yang bersifat kreatif seperti menyehatkan BUMD, memanfaatkan aset tidur daerah, dan bermitra dengan pihak swasta.

”Sebenarnya, dari postur APBD sudah terlihat mana ruang swasta yang kuat dan mana yang lemah. Teman-teman pemkot didorong untuk memanfaatkan kemitraan dengan swasta tersebut,” kata Bima.

Sulit penuhi pelayanan
Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan berpandangan bahwa peningkatan Rp 43 triliun kemungkinan besar adalah untuk membuat pemerintahan daerah tetap berjalan. Sebab, nilainya masih jauh jika dibandingkan dengan dana TKD di APBN 2025 yang mencapai Rp 848,52 triliun. Adapun di APBN 2026, nilai TKD ditambah dari sebelumnya Rp 650 triliun, menjadi Rp 693 triliun.

”Penambahan itu masih lebih kecil dibandingkan dengan alokasi TKD di APBN 2025. Jika dimaksudkan untuk menjaga standar pelayanan minimum, artinya, agar pemerintahan daerah berjalan sebagai urusan sehari-hari untuk belanja mengikat seperti gaji pegawai, aparatur sipil negara (ASN), biaya langganan listrik, dan sebagainya. Jadi, supaya kantor-kantor pemda tetap berjalan dan pegawai gajinya tetap terbayar,” kata Djohermansyah.

Namun, jika tambahan dana Rp 43 triliun itu digunakan untuk pelayanan publik seperti urusan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, menurut mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah itu, tidak akan memenuhi kebutuhan daerah.

Djohermansyah sepakat dengan usulan Apeksi bahwa karena tambahan dana nilainya kecil, daerah-daerah dengan PAD sangat kecil harus diprioritaskan. Sebab, daerah-daerah tersebut terancam tidak bisa membayar gaji pegawai tanpa dana TKD. Daerah yang kemandirian fiskalnya masih rendah harus dibagi dengan asas kebutuhan.

”Jangan sampai kantor-kantor pemda itu tutup karena mereka tidak bisa membayar gaji pegawai. Apalagi, gaji pegawai sekarang tidak hanya dari ASN (aparatur sipil negara), tetapi juga dari pengangkatan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) baru. Itu gajinya harus pakai dana APBD,” tegasnya.

Menurut Djohermansyah, jika Rp 43 triliun ditambahkan pada komponen dana alokasi khusus (DAK) fisik, hal itu baru akan dirasakan manfaatnya bagi daerah.

Adapun terkait usulan Apeksi agar membagi dana secara proporsional, menurut dia, hal itu juga bukan merupakan hal baru. Selama ini, pembagian TKD sudah didasarkan pada kemampuan fiskal daerah, terutama untuk komponen dana alokasi umum (DAU). Menurut dia, usulan Apeksi itu baru akan berdampak pada pembangunan daerah jika diterapkan untuk komponen DAK fisik.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman berpandangan penambahan dana Rp 43 triliun tidak akan berdampak signifikan terhadap belanja pembangunan di daerah. Sebab, selisih dana TKD di APBN 2025, dan APBN 2026 masih terlalu jauh.

Pada saat TKD di APBN 2025 dipangkas Rp 50,59 triliun dari pagu akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat, hal itu sudah menimbulkan turbulensi fiskal di daerah. Apalagi, saat ini, TKD APBN 2026 yang disepakati Rp 693 triliun, masih jauh dari TKD 2025 yang mencapai Rp 848,52 triliun.

”Ini tidak akan berdampak signifikan ke daerah kecuali dibuka secara lebih detail penambahan Rp 43 triliun itu untuk komponen dana bagi hasil (DBH), dana alokasi khusus (DAK), atau DAK fisik,” jelasnya.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/penambahan-tkd-rp-43-triliun-diharapkan-jaga-standar-pelayanan-minimal-daerah


Dibaca 591 kali