. Dana ke Daerah Dipangkas Rp 269 Triliun, Pajak dan Retribusi Berisiko Naik
Logo KPPOD

Dana ke Daerah Dipangkas Rp 269 Triliun, Pajak dan Retribusi Berisiko Naik

tempo.co - 20 Agustus 2025

Dana ke Daerah Dipangkas Rp 269 Triliun, Pajak dan Retribusi Berisiko Naik

PEMERINTAH memangkas alokasi transfer ke daerah atau TKD sebanyak Rp 269 triliun tahun depan. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, dana TKD dianggarkan Rp 650 triliun atau turun dari tahun ini yang ditetapkan Rp 919 triliun.

Pemangkasan anggaran TKD bakal menimbulkan konsekuensi serius bagi keuangan daerah. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman atau Arman mengatakan mayoritas daerah masih bergantung pada transfer. “70-80 persen daerah kita itu masih mengandalkan transfer ke daerah atau disebut dengan dana perlimbangan. Potongan atau penurunan transfer ke daerah itu, otomatis daerah harus berupaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD),” ucapnya kepada Tempo, Senin, 18 Agustus 2025.

Menurut Arman, PAD erat kaitannya dengan transfer. Makin tinggi PAD, semestinya TKD juga akan makin besar. Pemangkasan menyebabkan pemerintah daerah (Pemda) perlu putar otak untuk menaikkan pendapatan, terutama dari pajak dan retribusi daerah.

Ia mengaitkan dampak lanjutan pemotongan transfer dengan kasus demonstrasi kenaikan tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Pati. Demo besar itu terjadi di pekan yang sama dengan pembacaan nota keuangan RAPBN 2026.

Berdasarkan catatan KPPOD bukan hanya PBB-P2, pungutan-pungutan lainnya juga bisa berisiko naik. “Misalnya pajak kendaraan bermotor (PKB) dengan opsen-nya. Kemudian, ada juga beberapa pajak yang sekarang menjadi perhatian dunia usaha misalnya pajak alat berat. Dulu digabungkan dengan pajak kendaraan bermotor, dengan undang-undang yang baru dipisah. Tapi itu menimbulkan beban juga,” ucapnya. 

Selain itu, ada pajak penerangan jalan yang saat ini disebut pajak barang dan jasa tertentu untuk penggunaan listrik. Kenaikannya, kata Arman, bisa menimbulkan beban yang tak sedikit bagi dunia usaha.

Di awal 2025, sempat ramai tentang pajak hiburan. Ini juga bisa terdampak kenaikan. “Pajak hiburan, terutama untuk beberapa komponen objek, misal spa, kafe, klub malam, mandi uap dan sebagainya. Bagi kami, ini seharusnya diantisipasi oleh pemerintah pusat,” kata dia.

Risiko kenaikan sederet pungutan tersebut pada akhirnya bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi regional. Hasil kajian terakhir KPPOD menunjukan fiskal menjadi variabel penting untuk mengukur kemampuan daerah. “Artinya ke depan, kalau ini tidak diperhatikan dengan baik, juga berpengaruh terhadap daya saing daerah.”

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai pemangkasan anggaran TKD sebagai bentuk resentralisasi dan kurangnya kepercayaan pemerintah pusat terhadap pengelolaan keuangan daerah. “Ada kecenderungan alokasi anggaran dikuasai oleh pemerintah pusat dengan jumlah K/L yang gemuk atau terjadi resentralisasi keungan negara,” ucap Sekretaris Jenderal Fitra Misbah Hasan dalam keterangan tertulis.

Pemda hanya diberi alokasi yang sudah ditentukan penggunaannya. Akibatnya daerah kesulitan mengalokasikan prioritas pembangunan di daerahnya masing-masing. “Ini artinya, daerah tidak lagi dipercaya oleh pemerintah pusat dalam mengelola anggaran negara untuk pencapaian pembangunan,” ujarnya.

Dalam pembacaan nota keuangan dan RAPBN 2026 15 Agustus 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menjelaskan perihal dana TKD yang menyusut. Penurunan transfer seiring dengan belanja pemerintah pusat kementerian/lembaga (k/l) yang naik signifikan. Dana yang dikelola K/L tersebut nantinya bakal digunakan untuk belanja program yang berdampak langsung ke daerah.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bakal terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk melihat kemampuan fiskal dari daerah-daerah, sehingga alokasi TKD nantinya mempertimbangkan hal tersebut. Tito juga menyarankan pemda kreatif dalam mengumpulkan pendanaan tanpa memberatkan masyarakat. Dia mencontohkan lewat kemudahan perizinan restoran hingga pengaturan parkir. 

Tito juga menyoroti kenaikan PBB P2. Menurut dia, kenaikan pajak dan retribusi daerah sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2023. Berdasarkan regulasi, Nilai Jual objek Pajak (NJOP) dan PBB memang bisa dinaikkan atau disesuaikan 3 tahun sekali. Namun, ada klausul yang mengatur bahwa kenaikan pajak harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi dan kemampuan masyarakat. 

Karena itu, Tito sudah mengeluarkan surat edaran agar kenaikan pajak oleh pemda memperhatikan klausul tersebut. “Kalau itu memberatkan, maka aturan itu dapat ditunda atau dibatalkan,” ujarnya.

Sumber: https://www.tempo.co/ekonomi/dana-ke-daerah-dipangkas-rp-269-triliun-pajak-dan-retribusi-berisiko-naik-2060369#goog_rewarded


Dibaca 1622 kali