. Problem Ketimpangan Daerah dan Kebutuhan Menata Ulang Kebijakan Fiskal
Logo KPPOD

Problem Ketimpangan Daerah dan Kebutuhan Menata Ulang Kebijakan Fiskal

kompas.id - 30 Juli 2025

Problem Ketimpangan Daerah dan Kebutuhan Menata Ulang Kebijakan Fiskal

Dua daerah di Indonesia, yang satu berada di kota besar dengan jalan mulus, sektor jasa bergeliat, dan penerimaan pajak melimpah. Sementara itu, daerah lain berada di gugusan pulau terpencil, di mana akses transportasi mengandalkan kapal seminggu sekali dan potensi pajak yang kecil. Namun, nyatanya, dalam kerangka fiskal nasional, dua daerah ini diperlakukan nyaris setara.

Problem itu digambarkan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dalam diskusi bertajuk ”Menakar Desentralisasi Fiskal untuk Kemandirian Daerah” di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (22/7/2025).

Diskusi itu juga menghadirkan dosen Fakultas Ilmu Administrasi UI, Alfie Syarien; ahli keuangan daerah Achmad Lutfi; Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah Kementerian Keuangan Adriyanto; serta Direktur Fasilitasi Kelembagaan dan Kepegawaian Perangkat Daerah Kementerian Dalam Negeri Cheka Virgowansyah. Diskusi menjadi ruang refleksi mengenai arah kebijakan fiskal Indonesia.

”Selama ini, pemerintah masih memandang semua daerah dari kacamata yang sama. Padahal, Indonesia terlalu luas dan terlalu beragam untuk diseragamkan kebijakan fiskal daerahnya,” ujar Herman.

Hasil kajian dan evaluasi KPPOD, pendekatan fiskal Indonesia masih terlalu simetris, baik dalam pendistribusian dana alokasi, kebijakan pajak dan retribusi, maupun pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Padahal, karakteristik dan tantangan antarwilayah sangat berbeda.

”Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, semua disamakan. Hasilnya? Ketimpangan masih besar,” katanya.

Sejumlah kepala daerah pun kerap curhat kepada KPPOD dalam sejumlah forum terkait situasi itu. Mereka sering kali merasa hanya menjadi ”manajer lapangan” dari kebijakan pusat.

”Mentalitas yang berkembang di pusat masih melihat daerah sebagai manajer lapangan. Padahal, hal yang terjadi di lapangan jauh lebih kompleks,” ujarnya.

Salah satu contoh nyata ketimpangan itu bisa dilihat dari desain dana alokasi umum, dana bagi hasil, dan dana alokasi khusus yang masih menggunakan formula populasi dan luas wilayah tanpa cukup mempertimbangkan kesulitan geografis atau biaya logistik di daerah.

”Bayangkan daerah kepulauan seperti Natuna atau Maluku. Untuk sekadar melayani satu pulau ke pulau lain, mereka butuh ongkos dan waktu lebih besar dibandingkan kota besar yang semuanya terpusat,” kata Herman.

Tak hanya itu, dari sisi penerimaan pun desain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) dinilai belum cukup mengangkat daya fiskal lokal. Meski ada penyederhanaan seperti pada Pajak Barang dan Jasa Tertentu, realitasnya hanya daerah dengan sektor jasa dan perdagangan yang diuntungkan.

”Daerah yang basisnya pertanian atau maritim tetap kesulitan menaikkan PAD-nya. Jadi, cita-cita local taxing poweritu masih jadi slogan saja,” imbuhnya.

Oleh karena itu, ia mendorong agar revisi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ke depan tidak hanya menajamkan pembagian kewenangan, tetapi juga membuka ruang bagi desentralisasi asimetris yang lebih nyata, bukan sekadar simbolik.

Selama ini, kebijakan asimetris hanya tampak dari sisi politik historis, seperti Aceh, Papua, dan Jakarta, tetapi belum menyentuh sisi fiskal secara serius. Padahal, hal itu penting untuk membangun keadilan fiskal di tengah keragaman Indonesia.

Salah satu contoh baik yang bisa diterapkan adalah adanya desain khusus dalam UU Daerah Khusus Jakarta yang memberi pelimpahan kewenangan lebih luas. Walakin, dari aspek tata kelola fiskal belum ada perbedaan signifikan dibandingkan provinsi lain.

”Kalau kita serius ingin mendorong kemandirian daerah, maka sudah waktunya kita berani menggeser pendekatan. Bukan lagi seragam, tapi kontekstual. Bukan lagi simetris, tapi asimetris,” tuturnya.

Menurut Cheka Virgowansyah, saat ini pemerintah memang tengah mempersiapkan revisi UU Pemda. Salah satunya untuk menciptakan keseimbangan baru antara kewenangan pusat dan daerah. Langkah ini diambil sebagai upaya memperkuat desentralisasi yang lebih adaptif terhadap kebutuhan nyata di lapangan, termasuk dalam hal koordinasi kewenangan, pembagian urusan, hingga pengelolaan fiskal daerah.

”Dalam revisi ini, keseimbangan antara pemerintah pusat dan daerah akan disesuaikan kembali. Ada kecenderungan pendulum kekuasaan hari ini mengarah ke titik yang berbeda dibandingkan saat UU ini pertama kali diberlakukan pada 2014,” kata Cheka.

Lebih lanjut, menurutnya, konsep otonomi daerah Indonesia selama ini berbasiskan pada pembagian urusan, bukan sekadar struktur administrasi. Maka, jika terjadi perubahan dalam pembagian urusan atau kewenangan antarpemerintahan, perubahan tersebut akan berdampak langsung pada pembagian anggaran dan struktur fiskal lainnya.

”Ketika urusannya berubah atau bergeser, maka desain kelembagaan dan skema fiskalnya juga akan ikut berubah. Karena urusan adalah panglimanya,” tambahnya.

Selama 25 tahun otonomi daerah, pemerintah menyadari perlunya evaluasi mendalam untuk mengukur sejauh mana dampak positif dari desentralisasi telah dirasakan masyarakat. Akan tetapi, hingga kini belum ada proksi atau indikator yang disepakati secara nasional untuk menilai keberhasilan tersebut.

Ia mencontohkan, masyarakat di daerah tidak peduli soal jalan rusak itu kewenangan siapa—kabupaten, provinsi, atau pusat. Yang penting, jalan harus segera diperbaiki. Ketika tidak, kepala daerah yang paling bertanggung jawab di mata publik. Hal ini menunjukkan perlunya pola koordinasi yang lebih luwes dan terintegrasi.

”Saat lampu jalan mati atau jalan rusak, masyarakat tak peduli itu jalan siapa. Yang ditanya adalah mana pak bupati? Bisa kerja atau tidak? Koordinasi antarpemerintah selama ini masih lemah,” kata Cheka, yang pernah menjadi Penjabat Wali Kota Palembang itu.

Selain itu, ia juga menyoroti masalah mandatory spending atau belanja wajib yang dinilai terlalu kaku dan seragam. Menurut dia, banyak daerah terjebak dalam skema anggaran yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan daerahnya sehingga menghambat fleksibilitas dalam memenuhi aspirasi masyarakat.

Peningkatan PAD
Sementara itu, Adriyanto berpandangan, pemerintah pusat selalu mendorong pemerintah daerah untuk lebih aktif meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan mengoptimalkan potensi pembiayaan pembangunan melalui sinergi kebijakan fiskal antara pusat dan daerah. Hal ini menjadi salah satu fokus dalam refleksi dua dekade lebih pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.

Sejumlah instrumen dalam UU HKPD telah memberikan peluang tambahan pendapatan bagi pemerintah daerah, seperti adanya opsi untuk pengelolaan Pajak Kendaraan Bermotor yang otomatis dapat memperkuat APBD.

”Pemerintah daerah juga kami dorong untuk meninjau kembali nilai jual obyek pajak, terutama untuk Pajak Bumi dan Bangunan, karena ini juga menjadi sumber PAD yang potensial,” ujar Andriyanto.

Di samping itu, pemerintah juga menekankan pentingnya memperhatikan belanja pemerintah pusat di daerah. Belanja pusat, seperti subsidi penerima bantuan iuran (PBI) dan program kementerian/lembaga, sebagian besar dilaksanakan di daerah, tetapi sering kali tidak tecermin dalam APBD. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan tengah mendorong sinergi kebijakan fiskal pusat dan daerah agar perencanaan pembangunan lebih terintegrasi.

”Kita perlu menyadari bahwa belanja pusat itu terjadi di daerah. Jadi, harus ada penyelarasan antara apa yang dilakukan oleh kementerian/lembaga dan prioritas daerah,” katanya.

Andriyanto pun menyoroti rendahnya akses pembiayaan oleh pemerintah daerah dibandingkan negara-negara lain. Studi Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dari negara seperti Vietnam dan Nigeria dalam hal pemanfaatan pembiayaan sebagai sumber pendanaan pembangunan.

”Kalau ada keterbatasan anggaran di APBD, maka pembiayaan harus mulai dipertimbangkan sebagai opsi. Ini penting untuk memperkuat kemampuan fiskal daerah secara keseluruhan,” ujarnya.

Pemerintah berharap pemerintah daerah tidak hanya mengandalkan pajak dan transfer, tetapi juga mulai memperluas strategi pendanaan, termasuk melalui optimalisasi aset dan pembiayaan kreatif, agar kemandirian fiskal daerah semakin kuat di masa mendatang.

Cheka juga mengusulkan agar penguatan kapasitas fiskal daerah tidak hanya dilakukan melalui pajak dan retribusi, tetapi juga dari optimalisasi badan usaha milik daerah (BUMD). Saat ini, kondisi BUMD dinilai belum ideal dan memerlukan penguatan agar bisa menjadi sumber utama pembiayaan daerah secara mandiri.

”Harapannya, kemandirian fiskal tidak hanya bertumpu pada pajak daerah, tetapi dari aset dan penghasilan BUMD. Ini bisa jadi langkah nyata untuk otonomi daerah yang sesungguhnya,” tuturnya.

Dengan semangat reformasi yang lebih kontekstual dan asimetris, revisi UU Pemda diharapkan mampu menjawab tantangan koordinasi antarpemerintah, meningkatkan kemandirian fiskal, serta memperkuat daya tanggap pemerintahan daerah terhadap kebutuhan masyarakat.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/menata-ulang-peta-fiskal-daerah-dengan-pendekatan-asimetris-mungkinkah


Dibaca 1180 kali