. KPPOD: Pembatasan Penjualan dan Iklan Rokok Berpotensi Ganggu Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Logo KPPOD

KPPOD: Pembatasan Penjualan dan Iklan Rokok Berpotensi Ganggu Pertumbuhan Ekonomi Daerah

hukumonline.com - 19 Juni 2025

KPPOD: Pembatasan Penjualan dan Iklan Rokok Berpotensi Ganggu Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N. Suparman, menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang saat ini sedang dibahas oleh DPRD Provinsi Jakarta. Ia menilai beberapa ketentuan dalam Raperda tersebut, berpotensi menimbulkan persoalan dalam penerapan di lapangan serta bertentangan dengan prinsip-prinsip kebijakan berbasis bukti dan partisipasi yang bermakna.

“Kami mencermati, ketentuan soal larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter, serta pembatasan iklan dalam radius 500 meter dari fasilitas publik, sangat bermasalah jika tidak disertai justifikasi yang kuat,” ujar Herman dalam Diskusi Publik tentang Kebijakan ‘Kawasan Tanpa Rokok’ di Jakarta, Selasa (17/6).

Meski demikian, Herman menilai ada satu aspek positif dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 yang menjadi rujukan dalam penyusunan Raperda, yaitu batas usia minimum pembelian rokok menjadi 21 tahun. Menurutnya, hal ini merupakan langkah strategis dalam menurunkan prevalensi perokok pemula di Indonesia.

Menurutnya, penegakan batas usia pembelian rokok menjadi 21 tahun adalah kebijakan kunci yang sangat menentukan keberhasilan penanganan isu kesehatan akibat produk tembakau. Hal ini, kata dia, bisa menjadi titik temu antara dimensi ekonomi dan dimensi kesehatan yang selama ini kerap dipertentangkan.

Namun, KPPOD juga menyoroti beberapa aspek teknis yang belum diatur secara rinci dalam PP 28/2024 maupun Raperda KTR, khususnya terkait dengan kewajiban penyediaan tempat khusus merokok oleh pengelola Kawasan Tanpa Rokok. Herman menyebut perlunya indikator dan kriteria yang jelas mengenai tempat merokok yang layak.

“Tapi bagaimana kriteria dan implementasinya, itu masih perlu didiskusikan lebih lanjut bersama para pemangku kepentingan,” ungkapnya.

Dalam pandangannya, pembatasan ruang publik tertentu seperti tempat hiburan atau yang memiliki izin keramaian secara total untuk kegiatan merokok atau promosi produk tembakau perlu ditinjau kembali.

“PP 28 maupun UU Kesehatan tidak memberikan justifikasi yang jelas untuk pelarangan di ruang publik tersebut. Padahal kita tahu, rokok adalah produk legal yang aktivitas promosinya dilindungi hukum,” ujarnya.

Dalam analisis substansi regulasi, KPPOD menemukan sejumlah persoalan dalam pengaturan kawasan tanpa rokok, khususnya yang berkaitan dengan perluasan definisi lokasi. Ia menilai, terdapat ketidaksesuaian antara ketentuan dalam PP 28/2024 dengan rancangan peraturan daerah (raperda) di DKI Jakarta.

“Kami mencatat perluasan kawasan tanpa rokok mencakup tempat umum seperti pasar, hotel, restoran, pelabuhan, dan bandara, yang tampaknya melebihi batasan dalam PP 28. Sayangnya, dalam PP itu sendiri tidak ada batasan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan tempat umum,” terangnya.

Tak hanya itu, istilah “tempat umum lainnya” yang digunakan dalam beberapa perda juga dinilai membuka ruang multitafsir. Herman menegaskan perlunya kejelasan agar implementasi tidak menghambat pelaku usaha.

“Frasa ‘lainnya’ ini harus dijelaskan secara eksplisit di dalam perda. Kalau dikatakan ‘tempat lainnya’, itu harus dirinci, lainnya itu apa? Tanpa penjelasan, implementasi di lapangan bisa simpang siur,” tambahnya.

Herman juga menilai pelarangan total reklame rokok di ruang publik melanggar prinsip keadilan bagi pelaku usaha legal dan bertentangan dengan hak beriklan. Menurutnya, rokok sebagai produk legal seharusnya tetap diberi ruang untuk menjalankan hak promosi secara proporsional.

“Dari informasi yang kami terima, terutama dari pelaku usaha retail dan pedagang kaki lima (PKL), penerapan kawasan tanpa rokok di sejumlah daerah berdampak langsung pada penurunan omzet mereka. Akibatnya, terjadi efisiensi tenaga kerja yang memengaruhi keberlangsungan sektor terkait,” ujar Herman.

Ia mencontohkan, ketentuan dalam PP 28/2024 seperti larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari tempat pendidikan dan pembatasan iklan dalam radius 500 meter, berdampak pada semakin sempitnya area yang diperbolehkan untuk penjualan dan promosi. Situasi ini menurut Herman bukan hanya mengganggu distribusi, tetapi juga mengurangi pendapatan sektor periklanan dan berimbas pada penerimaan pajak daerah.

“Pembatasan ini tidak hanya menyempitkan lokasi penjualan dan ruang promosi, tetapi juga berdampak pada sektor hulu seperti petani tembakau. Pendapatan mereka berpotensi menurun, dan tenaga kerja di industri terkait bisa terdampak karena efisiensi,” jelasnya.

Herman juga menyoroti bahwa sektor reklame merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang penting. Dengan adanya pelarangan iklan yang semakin luas, potensi penerimaan daerah ikut tergerus.

Lebih lanjut, KPPOD pun memberikan sejumlah rekomendasi konkret untuk perbaikan Raperda KTR. Pertama, agar pengaturan kawasan tanpa rokok mengacu secara konsisten pada ketentuan dalam PP 28/2024, sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih aturan. Kedua, agar perluasan larangan kawasan merokok pada sektor jasa, pariwisata, dan hiburan dikaji ulang karena berpotensi menurunkan daya saing Jakarta sebagai kota global.

Ketiga, KPPOD mendorong penghapusan pelarangan total promosi atau sponsorship produk tembakau, serta pelarangan pemajangan rokok di lokasi penjualan. Keempat, memperkuat edukasi publik tentang bahaya rokok secara konsisten dan komprehensif.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/kppod--pembatasan-penjualan-dan-iklan-rokok-berpotensi-ganggu-pertumbuhan-ekonomi-daerah-lt68524f29f4129/?page=3


Dibaca 410 kali