. Evaluasi Pemekaran 1999-2014: DOB Tertatih-tatih, Daerah Induk Tak Lebih Baik
Logo KPPOD

Evaluasi Pemekaran 1999-2014: DOB Tertatih-tatih, Daerah Induk Tak Lebih Baik

kompas.id - 28 Mei 2025

Evaluasi Pemekaran 1999-2014: DOB Tertatih-tatih, Daerah Induk Tak Lebih Baik

Janji kesejahteraan dan mendekatkan pelayanan publik yang kerap melatarbelakangi pemekaran daerah pada periode 1999 hingga 2014 tak kunjung terlihat wujudnya hingga kini. Setali tiga uang, kondisi di daerah induk juga tak menunjukkan perkembangan signifikan setelah pemekaran. Maka, alih-alih membuka moratorium pemekaran, pemerintah diminta untuk fokus menata daerah-daerah otonom baru.

Untuk diketahui, pada periode 1999 hingga 2014 lahir 223 daerah otonom baru (DOB). Selang beberapa tahun setelah periode tumbuh suburnya pemekaran ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan 60 persen daerah gagal berkembang. Banyaknya daerah yang perkembangannya lambat ini pun terlihat hingga 2021-2022. Merujuk pada Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) Kemendagri, setidaknya ada 181 kabupaten dan 34 kota yang kinerjanya terbilang rendah.

LPPD antara lain mencakup capaian kinerja pemerintah daerah (pemda), akuntabilitas kinerja, dan penerapan standar pelayanan minimal.

Meski banyak daerah yang kinerjanya tidak memuaskan, usulan pemekaran daerah tidak surut. Data Kemendagri menunjukkan, total sudah ada 341 usulan daerah pemekaran, enam di antaranya menjadi daerah istimewa dan lima sebagai daerah otonomi khusus.

Usulan pemekaran antara lain muncul dari Maluku Utara, seperti DOB Galela Loloda dan Kao Raya, yang ingin mekar dari Kabupaten Halmahera Utara. Lalu, DOB Wasile yang ingin ”lepas” dari Halmahera Timur.

Selain itu, DOB Obi dan Makian Kayoa Kepulauan dari Halmahera Selatan, plus pemekaran Sofifi dari Kota Tidore Kepulauan.

Padahal, banyak DOB yang lahir pada awal masa pemekaran kinerjanya masih rendah. Provinsi Maluku Utara (Malut) yang mekar dari Maluku pada 1999, misalnya, skor LPPD-nya sangat rendah atau 1,5 dari skala 0-5. Begitu pula Halmahera Barat (1,6) dan Kepulauan Sula (1,3).

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Malut, Graal Taliawo, mengatakan, Selasa (27/5/2025),ketika daerah-daerah di Maluku Utara dimekarkan pada awal periode pemekaran, muncul harapan hal itu bisa mendekatkan pelayanan publik pemerintah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi dengan kondisi Malut yang merupakan daerah kepulauan.

Namun, pemekaran yang terjadi kala itu dilihatnya tidak mempertimbangkan kemampuan daerah untuk berdiri sendiri. Tak hanya itu, ketika daerah sudah berdiri sendiri, pemda tidak memanfaatkan kewenangannya dengan baik. Ia mencontohkan izin-izin pertambangan yang serampangan diberikan sehingga dampaknya merugikan lingkungan dan masyarakat.

Maka, tidak heran jika saat ini banyak DOB yang tertatih-tatih untuk berkembang. Infrastruktur, perhubungan, serta akses ke pelayanan dasar di beberapa DOB di Malut masih jadi persoalan. Belajar dari kondisi itu, menurut Graal, lebih baik jika pemerintah pusat fokus terlebih dulu untuk menata DOB yang ada daripada membentuk DOB yang baru.

Kota Gunungsitoli di Sumatera Utara menjadi contoh lain. Dalam dua tahun, 2021-2022, skor LPPD-nya masih berkutat pada kategori rendah hingga sedang. Padahal, daerah yang berada di Pulau Nias ini sudah dimekarkan dari Kabupaten Nias pada 2008 atau 17 tahun silam.

Salah satu warga Gunungsitoli, Yafaowoloo Gea, mengatakan, pemekaran tidak membuahkan perkembangan yang signifikan untuk kemajuan Gunungsitoli. Hingga kini daerahnya masih berkutat dengan problem infrastruktur dasar, seperti kondisi jalan dan jembatan yang buruk, problem pendidikan dan kesehatan, hingga listrik yang masih sering padam.

Pendiri Yayasan Terang Nias Ehowu ini juga menuturkan tak berkembangnya perekonomian masyarakat, padahal potensi seperti kelapa, karet, dan perikanan melimpah. Perekonomian yang jalan di tempat membuat pembangunan Gunungsitoli masih sangat bertumpu pada APBN.

Sebagai gambaran, pada APBD Gunungsitoli 2024, pendapatan asli daerahnya hanya Rp 46,97 miliar atau 6,1 persen dari total pendapatan daerah Rp 769,38 miliar. Sebagian besar lainnya atau sebesar Rp 704,78 miliar atau 91,6 persen berasal dari APBN.

Wali Kota Gunungsitoli Sowa'a Laoli mengakui jika pemekaran belum menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi daerahnya. Hal ini tak lain karena terbatasnya pendapatan asli daerah, ruang fiskal di APBD yang terbatas, juga ekonomi daerah yang lambat berkembang. Posisi Gunungsitoli yang jauh dari pusat perekonomian di Sumut maupun nasional menjadi salah satu kendala utama.

Meski demikian, bukan berarti pemekaran Gunungsitoli lantas dikatakan gagal. Sejak Gunungsitoli berdiri sendiri, pemda terus berikhtiar membangun Gunungsitoli. Pembangunan delapan puskesmas dengan fasilitas rawat inap, sejumlah sekolah baru, serta pembangunan jalan dan jembatan sebagai contoh. Pembangunan-pembangunan itu dinilainya secara bertahap membuat Gunungsitoli beranjak dari kabupaten kepulauan yang tertinggal.

Daerah induk

Tak semata persoalan masih banyaknya DOB yang tertatih-tatih untuk berkembang, problem di daerah induk pun tidak lantas terurai setelah pemekaran. Hal ini setidaknya terlihat dari pemekaran Provinsi Papua. Pada 2003, Papua Barat dimekarkan dari Papua.

Namun, Papua sebagai daerah induk, skor LPPD-nya pada 2021 atau dua dekade setelah pemekaran hanya 1,08 atau masuk kategori sangat rendah. Meski setahun berselang LPPD Papua naik menjadi 2,23, LPPD Papua masih masuk dalam kategori rendah. Ironisnya, Papua Barat juga masih masuk kategori rendah penilaian kinerjanya. Meski angkanya lebih baik dari Papua, nilai LPPD Papua Barat pada 2021-2022 masih masuk dalam kategori rendah.

Jika ditilik lebih jauh dari perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tertatih-tatihnya Papua lebih terang terlihat. Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2022 IPM Papua 61,39 persen, tidak meningkat signifikan dibandingkan pada 2012, dengan 55,55 persen. IPM Papua pada 2022 seakan tertinggal satu dekade dengan IPM di kawasan barat Indonesia pada 2012, misalnya Jawa Barat (67,32 persen).

Kekhawatiran lebih besar kini mencuat setelah pada 2022, Papua Barat dan Papua dimekarkan menjadi empat provinsi baru, yakni tiga dari Papua (Provinsi Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan), dan satu lagi dari Papua Barat, yakni Papua Barat Daya. Provinsi Papua, misalnya, bisa kehilangan sumber pendapatan dari sektor pertambangan yang selama ini jadi andalan bagi pendapatan asli daerahnya.

Meski demikian, Penjabat Sekretaris Daerah Papua Suzana Wanggai melihat tetap ada peluang bagi Papua berkembang walaupun wilayahnya telah dipecah-pecah oleh pemekaran. Pemprov Papua kini tengah menginventarisasi kembali kondisi SDM, khususnya di lingkup Pemprov Papua. Dengan jumlah ASN yang lebih ramping, mereka didorong untuk berdaya memaksimalkan sektor-sektor unggulan Papua, seperti bidang pertanian, perikanan, dan pariwisata.

Menurut Ketua Program Studi Aministrasi Publik Universitas Cenderawasih Abner H Bajari, Papua mengalami tantangan dalam penyelenggaraan pemerintahan bertahun-tahun. Tantangan itu mulai dari kondisi geografis, sosial budaya, hingga kapasitas SDM.

Tak hanya itu, kerap kali birokrasi di Papua diisi oleh orang-orang yang kurang kompeten atau hanya bermodal kedekatan dengan para pemimpin.

Imbasnya, meski dana otonomi khusus 20 tahun terakhir telah mencapai ratusan triliun rupiah, hasilnya tak signifikan untuk memajukan Papua.

Kapasitas fiskal rendah

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman menilai, tidak berkembangnya banyak DOB dan terdampaknya daerah induk tersebut merupakan buah dari pemekaran pada 1999-2014 yang asal-asalan. Syarat-syarat pemekaran, seperti jumlah penduduk minimal, kemampuan ekonomi hingga potensi sumber daya yang bisa dikelola, kerap kalah oleh kepentingan politik.

Akibatnya, setelah berdiri sendiri, pemda kesulitan mengembangkan daerahnya. Pelayanan publik pun tak lebih baik setelah pemekaran. Hal ini tak mengherankan karena mengacu pada kajian KPPOD, sebagian besar DOB belum mandiri secara fiskal atau masih bergantung pada kucuran dana dari pusat.

Sebagai contoh, Provinsi Bangka Belitung, mengacu Peta Kapasitas Fiskal pada Daerah Otonom Baru (DOB) Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun 2024, rasio kapasitas fiskal provinsi ini hanya 1,651 dan masuk kategori rendah. Kapasitas fiskal daerah induknya, yakni Sumatera Selatan, pun tak terpaut terlalu jauh. Rasio kapasitas fiskalnya 1,894 dan masuk kategori sedang.

”Jadi, menurut kami, (pemekaran wilayah) perlu dipikir-pikir ulanglah. Ini (pemekaran) bukan haram sebetulnya, tetapi mesti ditata ulang,” ujarnya.

Momentum lima tahun ke depan dengan para pemimpin daerah baru hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 bisa jadi kesempatan bagi daerah, terutama DOB, untuk memperbaiki diri.

Bersamaan dengan itu, pemerintah pusat bisa menggodok lebih dalam dua peraturan turunan dari UU Pemda yang mengatur soal pemekaran daerah, yakni Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penataan Daerah dan RPP Desain Besar Penataan Daerah.

”Jadi, saat menjadi PP dan aktif dijalankan, daerah yang gagal mau tidak mau akan masuk list untuk penggabungan,” ujar Herman. Dalam UU Pemda, diatur opsi penggabungan daerah dibuka jika ada kesepakatan daerah yang bersangkutan atau hasil evaluasi pemerintah pusat.

Tak hanya itu, menurut peneliti ahli utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) R Siti Zuhro, daerah-daerah pemekaran ini juga perlu pengawasan pemerintah. Namun, fungsi ini yang dilihatnya belum dilakukan secara maksimal sehingga banyak daerah yang kinerjanya masih belum memuaskan.

Evaluasi dan asistensi dari pemerintah pusat, lanjut Siti, perlu dilakukan dalam mengantisipasi stagnasi pembangunan dan jalannya pemerintahan.

”Pemerintah pusat sebagai korbinwas (koordinasi, pembinaan, pengawasan) harus juga melakukan evaluasi. Namun, evaluasi ini masih belum dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kalau tidak dilakukan, ya, cenderung ada pembiaran,” ujarnya.

Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya mengatakan, pihaknya memahami banyaknya DOB yang tertatih-tatih untuk berkembang. Hal itu pun dipastikannya menjadi atensi pemerintah pusat sebelum membuka keran pemekaran daerah. Selain itu, kondisi yang ada itu pun bakal menjadi perhatian pemerintah saat menyusun kedua RPP terkait pemekaran daerah agar ke depan tidak ada lagi DOB yang gagal berkembang.

Ia juga menyoroti ketergantungan daerah pemekaran pada dana alokasi dari pusat. Di sisi lain, pendapatan asli daerah (PAD) yang ada masih belum bisa berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan daerah masing-masing. Padahal, kemandirian fiskal ini merupakan tujuan utama dari desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini bisa terwujud jika daerah bisa mengembangkan potensi daerah sehingga pelayanan publik juga bisa maksimal.

”Namun, yang terjadi saat ini, belum bisa dikatakan pemekaran ini kemudian memberikan dampak signifikan terhadap daerah-daerah, terutama terkait penguatan kapasitas fiskal. Padahal, tujuan utama dari otonomi dan desentralisasi itu ialah kemandirian fiskal daerah. Kita jangan pernah lupa di situ,” katanya.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/evaluasi-pemekaran-1999-2014-dob-tertatih-tatih-daerah-induk-tak-lebih-baik-1


Dibaca 299 kali