Masuk Prolegnas 2025, Revisi UU Pemda Diharapkan Dibahas Terbuka sejak Awal
kompas.id - 26 Maret 2025
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dijadwalkan dibahas pada tahun ini karena telah masuk dalam daftar RUU prioritas Program Legislasi Nasional tahun 2025. Revisi UU Pemda diharapkan dibahas secara terbuka sejak awal agar syarat partisipasi publik bermakna dapat terpenuhi.
Pada 19 November lalu, DPR telah menyepakati 41 RUU masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2025. Salah satu RUU yang menjadi prioritas pembahasan tahun 2025 adalah RUU perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (RUU Pemda). Dalam daftar Prolegnas itu tertulis, RUU Pemda menjadi inisiatif DPR atau DPD sehingga rumusan revisi serta naskah akademik disiapkan oleh kedua lembaga itu.
Meski demikian, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Bahtra Banong, sampai saat ini belum ada pembahasan soal revisi UU Pemda. Komisi II juga belum mulai menyusun rumusan RUU Pemda.
Kendati belum ada pembahasan, Bahtra menegaskan, jika ada revisi, tujuannya adalah untuk menyempurnakan peraturan perundang-undangan sebelumnya. Dalam proses penyempurnaan itu, aturan yang sudah baik akan tetap dipertahankan dan hal-hal yang belum sempurna akan ditambahkan.
”Hal-hal positif dan yang sudah berjalan dengan baik tentu dipertahankan. Yang masih ada kekurangan akan diperbaiki,” kata Bahtra di Jakarta, Selasa (25/3/2025).
Wakil Ketua Komisi II DPR lainnya, Dede Yusuf, mendukung revisi UU Pemda bila bertujuan untuk menyempurnakan otonomi daerah. ”Demokrat selalu mendukung otonomi daerah,” ucapnya.
Perlu evaluasi
Secara terpisah, anggota Komisi II DPR, Ahmad Irawan, mengungkapkan, otonomi daerah merupakan bagian dari amanat reformasi 1998. Karena itu, publik tidak perlu meragukan komitmen partai-partai di DPR dalam menjaga otonomi daerah. Publik juga tidak perlu khawatir revisi UU Pemda akan menggerus semangat desentralisasi.
Kebijakan otonomi daerah, kata Ahmad Irawan, merupakan jawaban bagi tuntutan atas pemerintah daerah yang lebih otonom. Otonomi daerah juga merupakan upaya agar pemerintah pusat bisa lebih fokus pada permasalahan dan kebijakan nasional.
”Format otonomi daerah merupakan kesempatan yang baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan dan hak daerah. Jadi, maju atau tidaknya daerah ditentukan kemauan dan kemampuan daerah,” ujarnya.
Meskipun demikian, menurut Ahmad Irawan, memang ada hal-hal yang harus dievaluasi ke depan. Misalnya, penempatan daerah hanya sebagai agency sehingga tujuan membuat pemerintah daerah yang mandiri pun gagal. Selain itu, hal lain yang perlu dikaji ulang adalah soal menciptakan otonomi daerah yang nyata sehingga daerah benar-benar bisa mengurus dirinya, termasuk pembiayaannya.
”Daerah harus didorong agar mau dan mampu melakukan inovasi untuk kemandirian fiskal daerah,” tegasnya.
Gejala resentralisasi
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, selama lima-enam tahun terakhir telah muncul gejala resentralisasi menguat. Kekuasaan kembali terpusat di pemerintah pusat.
Di level kebijakan yang sangat strategis, misalnya, sejumlah kewenangan yang selama ini berada di tangan pemda telah kembali dipindahkan ke pemerintah pusat. Pemindahan kewenangan itu di antaranya termaktub dalam UU Cipta Kerja serta UU Mineral dan Batubara.
”Fenomena itu kemudian saya lihat diperkuat kembali dengan apa yang dilakukan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran di awal-awal pemerintahan mereka ini. Misalnya, soal efisiensi anggaran yang memotong transfer ke daerah tanpa sepengetahuan pemda,” jelasnya.
Kebijakan itu, lanjutnya, telah menimbulkan keresahan bersama jika ditempatkan dalam konteks otonomi daerah sebagai salah satu amanat dan agenda reformasi 1998. Masyarakat tidak ingin ada arus balik dari desentralisasi menjadi resentralisasi.
Fenomena resentralisasi muncul dari keputusasaan pemerintah pusat yang melihat daerah tidak berjalan dengan baik, mulai dari proses perencanaan anggaran, penyusunan kebijakan, hingga penyusunan dan pelaksanaan program-program kerja daerah.
”Jangan sampai pembentuk UU, yaitu DPR dan pemerintah, mengambil jalan pintas dengan menarik kewenangan itu. Padahal, kami lihat masalahnya itu sebenarnya ada pada prasyarat atau prakondisi terkait dengan otonomi daerah,” ujar Herman.
Prasyarat atau prakondisi itu di antaranya adalah hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, hubungan keuangan pusat dan daerah, serta hubungan pembinaan dan pengawasan daerah.
Adapun prakondisi lain adalah soal kepemimpinan dan kapasitas daerah. Kepala daerah dan anggota DPRD mesti memiliki kapasitas dan integritas yang baik. Partisipasi publik dalam tata kelola pemda juga harus dibenahi.
Menurut Herman, sampai saat ini prakondisi untuk otonomi daerah itu belum benar-benar tercipta. ”Misalnya, kalau kami bicara hubungan kewenangan pusat dan daerah, sampai sekarang di masa reformasi ini, kami lihat UU Pemda yang sudah direvisi tiga kali masih mengutak-atik soal kewenangan. Artinya, bisa kami katakan bahwa penataan kewenangan itu belum stabil. Dan, kewenangan itu masih sangat bergantung pada komitmen pemerintah pusat,” tuturnya.
Partisipasi publik bermakna
Melihat kecenderungan resentralisasi tersebut, Herman berharap, pembentuk undang-undang membahas revisi UU Pemda dengan terbuka dan transparan. DPR dan pemerintah diharapkan tidak mengulang kesalahan saat membahas revisi UU TNI. Akan lebih baik jika revisi UU Pemda dibahas terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Pembentuk undang-undang, menurut dia, mesti melibatkan masyarakat sejak penyusunan naskah akademik, pembahasan draf, hingga pembicaraan tingkat I dan II RUU Pemda. Pelibatan masyarakat itu telah diatur dalam Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
”Kalau pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri misalnya atau DPR, DPD itu belum menyusun atau mungkin sudah menyusun naskah akademik dan draf revisi UU Pemda, minimal poin-poin atau perspektif pemerintah dan DPR itu bisa disampaikan ke publik. Contohnya, jika yang direvisi nanti soal pembagian urusan atau yang terkait dengan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, itu sudah mesti dilemparkan ke publik agar ada partisipasi yang bermakna,” jelas Herman.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/masuk-prolegnas-2025-revisi-uu-pemda-diharapkan-dibahas-terbuka-sejak-awal?utm_campaign=tpd_-_ios_traffic&utm_source=link&utm_medium=shared
Dibaca 58 kali