Logo KPPOD

Pemberian Insentif Mengganggu Kemandirian Fiskal

bisnis.com - 7 Januari 2025

Pemberian Insentif Mengganggu Kemandirian Fiskal

Bisnis, JAKARTA — Dinamika opsen menggambarkan bahwa pemerintah belum memiliki rumusan yang jitu dalam mengantisipasi potensi gejolak di tengah proses transisi kebijakan, meskipun konsep opsen pajak sebenarnya ideal, dan mampu memberikan ruang kemandirian fiskal bagi daerah. Dalam kaitan ini, Bisnis mewawancarai Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N. Suparman. Berikut kutipannya.

Apa sisi positif dan negatif penerapan opsen pajak?

Dalam konteks pemda secara umum, pajak dan retribusi punya dua fungsi. Pertama, budgetair atau alat mendapatkan pemasukan, dalam hal ini salah satu sumber pendapatan asli daerah . Kedua, fungsi regulerend yang intinya alat stimulus menciptakan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan investasi.

Lantas, sistem opsen pajak sebetulnya memberikan kepastian kepada kabupaten/kota, membuat kemandirian mereka lebih baik, terutama karena Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor itu diberikan langsung sebagai sumber PAD tahun berjalan.

Sistem bagi hasil sebelumnya, itu lama, dihitung terlebih dahulu dalam setahun, kemudian dibagihasilkan ke tahun berikutnya. Tahun ini, dengan opsen, kabupaten/kota bisa langsung dapat saat itu juga, dengan harapan bisa digunakan secara lebih optimal.

Nah, implikasinya tentu buat provinsi, karena PAD mereka ada potensi penurunan. Sementara itu, padahal mereka yang menentukan tarif. Maka, di tengah transisi ini, trennya provinsi akan menentukan tarif yang setidaknya berpeluang tidak akan terlalu menekan PAD.

Apakah beban perpajakan yang dibayarkan masyarakat menjadi lebih tinggi?

Hampir semua daerah menimbulkan beban lebih tinggi, walaupun tipis. Tetapi ada juga yang tetap atau bahkan turun, contohnya Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat.

Daerah yang menimbulkan beban perpajakan lebih tinggi terutama yang sebelum era UU No. 1/2022 menerapkan tarif PKB di atas 1,5%. Memang, patut dipahami pemerintah pusat dalam UU HKPD telah merancang mekanisme agar beban masyarakat tidak meningkat, dengan menurunkan tarif maksimal.

Misalnya, PKB maksimal dari sebelumnya 2%, saat ini menjadi 1,2%. Sehingga ketika opsen diambil kabupaten/kota sebesar 66% dari 1,2% tersebut, hasil akhirnya tetap sama.

Nah, tetapi dari sisi provinsi yang sebelumnya itu menerapkan tarif PKB 1,5% atau 1,7%, kemudian di era UU HKPD diturunkan ke 1,2% atau bahkan 1% sekalipun, artinya kalau ditambah opsen, beban perpajakan yang ditimbulkan jadi naik.

Contoh, kalau pemda provinsi tadinya mengenakan tarif 1,5%, kemudian sekalipun sudah diturunkan ke 1% di era opsen pajak ini, beban akhir ke masyarakat naik tipis, karena totalnya setara 1,6%.

Apakah pemberian insentif oleh pemda langkah yang tepat?

Sebetulnya bisa dikatakan terlambat. Karena ketentuan tarif PKB dan BBNKB itu sebenarnya sudah ditetapkan dalam peraturan daerah provinsi yang hampir semuanya sudah terbit awal 2024. Sehingga sebetulnya pemerintah pusat bisa melakukan reviu terhadap perancangan Perda pajak dan retribusi tersebut, bisa menghitung bagaimana akhirnya tren beban akhir di era opsen ini, dan terbuka untuk berdialog soal itu. Dengan begitu, antisipasi pun jadi lebih dini, soal apakah penerapannya sudah sesuai harapan, dan apakah kondisinya memungkinkan untuk diterapkan sesuai ketentuan.

Terkini, munculnya surat edaran itu intinya mengharapkan provinsi mengeluarkan surat keputusan gubernur untuk memberikan keringanan atau menyesuaikan tarif agar tidak menimbulkan kenaikan beban. Buat masyarakat dan pelaku usaha sebetulnya oke. Tetapi bagi provinsi, sebenarnya ini cukup mengganggu kemandirian fiskal. Karena sebetulnya beberapa provinsi sudah lama mengeluhkan soal PAD mereka akan berkurang. Ke depan dialog dan sosialisasi dari pemerintah pusat tentang kebijakan yang menyangkut daerah harus lebih baik dan transparan.

Bagaimana idealnya sikap pemerintah pusat untuk menentukan titik keseimbangan soal kebijakan ini?

Menurut kami, secara umum dalam cara konteks otonomi daerah, sebetulnya pemda mesti diberikan ruang lebih besar untuk menentukan. Maka dari itu, kebijakan yang terkait dengan tarif, apalagi punya konsekuensi memberatkan buat masyarakat dan dunia usaha, pemerintah pusat mesti memperhatikan betul partisipasi khalayak ketika penyusunan, dialog, sampai sosialisasinya.

Karena bukan hanya opsen pajak. Kalau ingat di awal tahun , kejadian serupa juga terjadi terkait dengan pajak hiburan tertentu. Pelaku usaha sektor pariwisata dan hiburan saat ini sampai-sampai menggugat undang-undang terkait. Artinya, ketika disusun dulu, sekitar dua tahun lalu, pelibatan dunia usaha dalam penyusunan maupun sosialisasi itu tampak sangat minim. Inilah yang mesti menjadi perhatian ke depan.

Sumber: https://koran.bisnis.com/read/20250106/454/1829018/direktur-eksekutif-kppod-herman-n-suparman-pemberian-insentif-mengganggu-kemandirian-fiskal


Dibaca 24 kali