Kebijakan Indonesia Pasca Reformasi: Meningkat, Namun Belum Maksimal
brin.go.id - 23 Desember 2024
Jakarta-Humas BRIN. Kualitas regulasi mencerminkan persepsi terhadap kemampuan pemerintah untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan, peraturan yang sehat, serta memungkinkan untuk mendorong pengembangan sektor swasta. Kualitas kebijakan Indonesia pasca reformasi semakin membaik, meski masih perlu ditingkatkan.
“Pengembangan kebijakan berbasis bukti yang baik (sound) membutuhkan peran dari berbagai pemangku kepentingan, baik internal pemerintah seperti kementerian/lembaga maupun dari eksternal. Oleh sebab itu peran lembaga non pemerintah dalam sejarahnya sangat berkontribusi dalam pengembangan kebijakan berbasis bukti,” ungkap Santoso Direktur Eksekutif Article 33 Indonesia, pada webinar The Indonesian Science Technology Innovation Policy Lecture 2024 Series IV, Selasa (17/12).
Menurutnya, ada beberapa kanal yang bisa dimanfaatkan oleh lembaga non pemerintah antara lain melalui swakelola dengan 4 tipe. Keempat tipe tersebut yaitu tipe I individu, tipe II universitas dan lembaga pemerintah lainnya, tipe III organisasi masyarakat (perkumpulan/yayasan), dan tipe IV komunitas.
“Peluang organisasi pemerintah untuk berkontribusi dalam bentuk swakelola menjadi semakin besar, dan sudah banyak di kementerian/lembaga yang membuka peluang itu, termasuk di daerah juga,” ungkapnya.
Selanjutnya melalui penyedia, biasanya berbentuk PT atau CV dimana dia juga melakukan studi atau evaluasi kebijakan. Swakelola dan penyedia ini menggunakan APBN atau APBD, kalau budget yang non pemerintah itu ada di dukungan lembaga donor dari luar negeri atau dalam negeri.
“Hal ini sebagai mitra pembangunan yang ditunjuk untuk mendukung evaluasi dan perumusan kebijakan. Kemudian ada sektor swasta dengan penggunaan CSR untuk studi, dan pelaksanaan uji coba program,” urainya.
Santoso melanjutkan, perusahaannya setelah lebih dari 10 tahun dalam melakukan riset dan advokasi kebijakan dengan membuat beberapa catatan. “Terdapat lima hal penting agar advokasi kebijakan berjalan dengan efektif, agar riset-riset kita itu bisa memengaruhi kebijakan yang relevan,” terangnya.
Pertama, riset berkualitas sebagai hal utama yang menjadi dasar dari advokasi kebijakan minimal dipenuhi dengan perumusan masalah yang jelas. Kemudian, metodologi yang rigorous dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, termasuk data yang memadai.
“Kedua, perumusan rekomendasi yang jelas dan konkret. Rekomendasi tidak hanya perlu terhubung dengan hasil riset, tetapi juga perlu mempertimbangkan kemungkinan keterlaksanaannya (doability). Terkadang, rekomendasi juga perlu dapat diterjemahkan secara lebih detail dalam draft regulasi,” ucapnya.
Ketiga, Key government partners dengan memastikan ada tim dari pemerintah yang menjadi counterpart utama dalam proses studi dan advokasi kebijakan. Partner ini adalah orang yang berada di level pengambil keputusan dan level yang lebih teknis.
“Keempat, pemahaman atas pengetahuan birokrasi. Lembaga riset perlu memahami prosedur, alur, peraturan yang terkait dengan birokrasi pemerintahan, memahami langkah penyusunan kebijakan dan naskah yang dibutuhkan. Kelima, memahami dan terlibat dalam siklus lengkap dari proses kebijakan. Pemahaman ini diperlukan agar peran lembaga riset dapat optimal dalam end to end proses/siklus perjalanan kebijakan,” bebernya.
Sebagai informasi, kegiatan yang mengusung tema Kontribusi Sektor Pengetahuan Dan Lembaga Riset/Perguruan Tinggi Menuju Pembangunan Berbasis Sains Dan Teknologi ini, digagas oleh tujuh lembaga riset antara lain Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Deputi Bidang Kebijakan Riset dan Inovasi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Article 33 Indonesia, Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), SMERU Research Institute, dan Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP).
Sumber: https://www.brin.go.id/news/121931/kebijakan-indonesia-pasca-reformasi-meningkat-namun-belum-maksimal
Dibaca 20 kali