Motif Partai Politik Ikut Pemilihan Kepala Desa
tempo.co - 18 November 2024
Arya Jaya Wardhana kaget ketika mendengar wacana kepala desa dicalonkan lewat jalur partai politik. Ketua Umum Persatuan Rakyat Desa (Parade) Nusantara itu merasakan ada yang janggal dari wacana tersebut. Ia yakin usulan tersebut hanyalah upaya lain memanfaatkan kepala desa sebagai obyek politik partai.
Kecurigaan Wardhana itu bukan tanpa sebab. Ketua asosiasi kepala desa ini mengatakan organisasinya sejak 2006 menuntut ke DPR agar aturan yang melarang kepala desa bergabung dengan partai politik direvisi. Namun tuntutan berulang itu ditolak berkali-kali sampai kemudian wacana tersebut muncul. Ia curiga partai politik memiliki kepentingan memobilisasi kepala desa dengan terlibat pemilihan kepala desa.
“Itu seperti kami hanya menjadi obyek. Rakyat desa seolah-olah dijadikan obyek saja dan tidak pernah diajak menjadi subyek,” katanya kepada Tempo, Kamis, 7 November 2024.
Wardhana mengatakan pencalonan kepala desa lewat jalur politik harus disertai revisi undang-undang. Ia meminta DPR juga merevisi Pasal 29 huruf g Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang melarang kepala desa menjadi pengurus partai politik.
“Aneh kalau kami mencalonkan diri pakai rekomendasi partai politik, tapi tidak bisa mendorong aspirasi karena kami bukan anggota parpol,” tuturnya.
Tri Susatyo Handono juga menolak partai politik terlibat dalam pemilihan kepala desa. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) ini menduga wacana tersebut ingin menerapkan kembali praktik Orde Baru ketika birokrasi partai politik masuk sampai tingkat desa.
“Mungkin partai ingin melihat ketika zaman Orde Baru dulu,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Handono mengatakan, pada prinsipnya, desa memiliki pemerintahan yang istimewa karena punya otonomi sendiri. Selain itu, masuknya partai politik ke dalam desa tidak sesuai dengan nilai desa adat. Menurut dia, meskipun kepala desa dipilih berdasarkan proses politik, fungsinya sebagai kepala adat tidak boleh berubah. “Artinya, dia sebagai kepala adat mengawal kebudayaan, sosial, dan budaya kearifan lokal."
Handono juga khawatir masuknya partai politik dalam pemilihan kepala desa bisa meningkatkan biaya politik yang mahal karena harus mencari rekomendasi partai. Namun ia tidak menampik bahwa keterlibatan anggota partai politik memang sudah lama terjadi, terutama saat pemilihan legislatif. Ia menambahkan, keterlibatan partai politik memang tidak terjadi secara organisasi, melainkan secara individu partai politik. Biasanya calon anggota DPR atau DPRD sering meminta bantuan kepala desa di daerah pemilihannya untuk menjaga basis konstituen.
“Itu biasanya secara personal, bukan kepartaian. Biasanya dia butuh beberapa desa sebagai basis pemilihnya,” ucap Handono. “Sebagai imbalan, anggota Dewan tersebut membantu salah satu calon untuk bisa menduduki posisi kepala desa itu.”
Usulan pencalonan kepala desa lewat jalur partai politik pertama kali disuarakan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Ahmad Doli Kurnia, pekan lalu. Ia menilai selama ini pemilihan kepala desa secara tak sadar juga memakai sistem kepartaian.
“Cuma, bedanya, partai nangka, partai pepaya, partai kambing, tapi pakai partai juga. Artinya, mekanisme dan sistem kepartaian itu sudah masuk ke pemilihan kepala desa," kata Doli saat rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 31 Oktober 2024.
Saat dihubungi Tempo, Doli mengatakan masuknya partai politik ke sistem pemilihan kepala desa sejalan dengan sistem negara demokrasi. Menurut dia, partai politik, sebagai pilar utama demokrasi, berkepentingan melembagakan organisasinya hingga tingkat bawah masyarakat.
“Apakah kita diberi kesempatan untuk mengkonsolidasikan pada tingkat paling bawah? Ini belum terjadi,” katanya kepada Tempo, Kamis, 7 November 2024.
Doli berpendapat selama ini pemilihan kepala desa sudah menggunakan sistem kepartaian politik. Hal itu tidak berbeda dengan pemilihan kepala daerah. Selain itu, menurut Doli, sudah menjadi rahasia umum bahwa partai politik atau anggota partai politik sudah lama terlibat aktif dalam pemilihan kepala desa. “Mereka juga terlibat dalam pilkades itu. Jadi, selama ini juga sudah tersentuh dengan partai politik."
Penolakan wacana pemilihan kepala desa lewat partai politik juga disuarakan kuwu atau kepala desa di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kuwu Desa Balerante, Rojaya, misalnya, menilai pemilihan kuwu menggunakan sistem partai dianggap hanya akan memecah belah masyarakat. “Kami tentu menolak wacana ini,” tuturnya, Kamis, 7 November 2024.
Rojaya mengatakan tidak bisa membayangkan berapa biaya yang harus mereka keluarkan untuk pemilihan kepala desa jika menggunakan partai. Ia bercerita, saat mengikuti pemilihan kuwu di desa dengan jumlah penduduk sekitar 2.000 jiwa pada tahun lalu, dia mengeluarkan sekitar Rp 500 juta.
“Ini paling minim. Calon lain ada yang mengeluarkan hingga Rp 1 miliar,” ujarnya.
Pernyataan senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Kuwu Cirebon (FKKC), Ahmad Hudori. FKKC juga tidak mendukung usulan tersebut. “Kami tidak mendukung. Masuknya partai hingga tingkat desa justru bisa memecah belah masyarakat."
Ahmad mengaku tidak bisa membayangkan jika ada empat calon kuwu yang berasal dari partai yang berbeda. Ia menuturkan masyarakat diyakini akan terpecah belah. “Karena itu kami tidak mendukung wacana tersebut."
Dampak polarisasi dan ongkos politik yang makin mahal juga disoroti oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman mengatakan pemilihan melalui jalur partai politik akan membuat ongkos pilkades makin mahal. Armand mengatakan, dalam kajian Kementerian Dalam Negeri pada 2016, pemilihan calon bupati atau wali kota bisa memakan biaya Rp 20-30 miliar. Sementara itu, untuk pemilihan gubernur bisa menghabiskan Rp 100 miliar.
“Itu akan berdampak ketika kepala desa terpilih menjabat. Dia akan berjuang mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan untuk pilkades,” katanya kepada Tempo, Kamis, 7 November 2024.
Apalagi, kata Armand, dana desa yang besar berpotensi diselewengkan untuk menambal ongkos politik yang dikeluarkan.
Armand mengatakan wacana partai politik masuk sistem pemilihan desa juga menyalahi kodrat desa itu sendiri. Menurut dia, dalam Undang-Undang Desa disebutkan bahwa desa memiliki otonomi dan berbeda dengan pemerintah daerah. Melibatkan partai politik ke dalam desa, kata dia, justru bertentangan dengan kodrat desa. Apalagi sejumlah desa diklasifikasikan dengan desa adat yang memiliki sistem pemilihan sendiri.
“Dengan partai politik masuk ke sana, berarti sudah mengintervensi otonomi desa itu,” tuturnya.
Ahmad Doli menepis argumen bahwa masuknya partai politik bisa memperdalam polarisasi di perdesaan. Ia mengatakan pemilihan kepala desa bukan tidak tanpa polarisasi. Menurut dia, sejak dulu pemilihan kepala desa sering kali terpolarisasi, bahkan sampai memakan korban jiwa.
“Kenapa kalau kemudian nanti terjadi polarisasi yang disalahkan partai politik? Kalau partai politik menambah polarisasi, berarti kita salah menempatkan partai politik,” katanya.
Doli mengakui ongkos partai politik memang menjadi masalah dalam setiap pemilihan. Namun, ujar dia, masalah tersebut memang harus dikaji lebih lanjut, bagaimana menekan biaya politik serendah mungkin dan diatur dalam aturan.
“Soal politik biaya tinggi, kita sepakat memeranginya. Sama seperti kita ingin mengatur bagaimana biaya pilpres dan pileg tidak terlalu mahal. Itu komitmen yang harus kita perjuangkan juga,” ujarnya.
Sumber: https://www.tempo.co/politik/partai-politik-pemilihan-kepala-desa-1165436
Dibaca 41 kali