Logo KPPOD

UU Cipta Kerja: Dulu Dikebut Diam-diam, Kini ”Melempem”

kompas.id - 30 Agustus 2024

UU Cipta Kerja: Dulu Dikebut Diam-diam, Kini ”Melempem”

Empat tahun sudah berlalu sejak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja alias Omnibus Law secepat kilat.

Saat itu, Badan Legislasi DPR menggelar rapat kerja secara diam-diam. Rapat bahkan sampai diadakan larut malam pada malam minggu untuk meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja ke Rapat Paripurna DPR guna disetujui menjadi undang-undang.

Di atas kertas, tujuan RUU tersebut baik, yakni untuk memperbaiki aspek perizinan berusaha agar menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja yang banyak. Sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat di era bonus demografi ini.

Namun, ada efek samping. Lewat RUU tersebut, hak-hak pekerja dipangkas, aspek perlindungan lingkungan diakali, dan hak-hak masyarakat adat dikesampingkan, demi menarik investasi. Ditambah, proses penyusunan, pembahasan, dan pengesahannya berantakan. Aturan formil penyusunan regulasi dilabrak demi mengesahkan RUU Cipta Kerja secepat kilat.

RUU Cipta Kerja pun sontak diprotes berbagai kalangan, khususnya buruh yang merasa dirugikan. Puncaknya, di tengah pandemi Covid-19, massa di banyak daerah di Indonesia turun ke jalan untuk berunjuk rasa mendesak pemerintah dan DPR membatalkan RUU Cipta Kerja.

Namun, RUU Cipta Kerja tetap disahkan. Meski putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil dan wajib segera direvisi, Presiden Joko Widodo memilih mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Dalihnya, ada kegentingan ekonomi yang memaksa.

Empat tahun kini berlalu. UU yang dulunya digadang-gadang akan menjadi game changer atas kondisi ekonomi Indonesia itu ternyata berakhir jauh dari ekspektasi. Kalangan pengusaha yang semestinya paling diuntungkan oleh UU Cipta Kerja kecewa, bahkan ikut mengeluh.

Pekan depan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) akan menggelar Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional (Rakerkonas) Ke-33 pada 28-30 Agustus 2024 di Surabaya. Salah satu agenda utamanya adalah mengevaluasi penerapan UU Cipta Kerja karena ternyata regulasi itu belum banyak membantu perizinan berusaha di daerah.

Direktur Apindo Riset Institute Agung Pambudi mengatakan, dalam sepuluh tahun terakhir, pemerintah telah melakukan sejumlah reformasi regulasi dan reformasi birokrasi. Salah satunya melalui UU Cipta Kerja. Namun, pascareformasi itu, dunia usaha masih menghadapi masalah klasik kendala perizinan berusaha di daerah.

Dari keluhan yang ditampung dari pengusaha-pengusaha di daerah, UU Cipta Kerja belum mampu menyederhanakan proses perizinan usaha yang selama ini dikeluhkan pengusaha. Bahkan, untuk beberapa aspek, UU Cipta Kerja semakin menambah rumit urusan perizinan.

”Kami masih berharap agar UU Cipta Kerja ini bisa menjadi game changer perubahan iklim investasi di Indonesia, sesuai tujuan awalnya. Namun, memang dibutuhkan perbaikan atas beberapa kasus yang justru lebih rumit pasca-UU Cipta Kerja,” kata Agung, Jumat (23/8/2024).

Obesitas regulasi
Berdasarkan kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), organisasi yang bernaung di bawah Apindo, ada beberapa kerumitan yang masih ditemukan di lapangan pasca-UU Cipta Kerja. Sebagai contoh, sistem Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA) yang semestinya menjadi sistem perizinan usaha tunggal dari pusat ke daerah belum bisa diterapkan.

Setiap kementerian/lembaga tetap menjalankan sistem pelayanan perizinan berusahanya masing-masing tanpa terintegrasi dengan sistem OSS-RBA. Akhirnya, proses layanan perizinan berusaha yang lebih cepat dan nonbirokratis tetap tidak tercapai.

”UU Cipta Kerja tidak secara tegas menyatakan bahwa pelayanan perizinan usaha dilakukan terpusat melalui sistem OSS-RBA sehingga, tidak heran, kementerian/lembaga tetap menjalankan proses bisnis dengan sistemnya masing-masing,” ujar Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman.

Kerumitan kedua muncul dari sisi regulasi turunan UU Cipta Kerja. Peraturan pemerintah (PP) masih mendelegasikan sejumlah ketentuan teknis perizinan usaha ke dalam peraturan menteri. Armand mengatakan, aturan yang ”dilempar” ke peraturan teknis sektoral itulah yang menjadi akar dari ”obesitas regulasi” yang selama ini menghambat perizinan berusaha.

Ia kembali mencontohkan PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang menjadi landasan hukum untuk penerapan sistem OSS-RBA. ”PP ini sebenarnya sudah cukup tebal, tetapi masih mendelegasikan lagi beberapa peraturan ke peraturan menteri sektoral,” kata Armand.

UU Cipta Kerja juga tidak diikuti dengan pembenahan rencana detail tata ruang (RDTR) di daerah. Karena itu, masih banyak pelaku usaha yang mendapat persetujuan perizinan berusaha di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Armand mengatakan, persoalan klasik itu masih berulang karena belum semua daerah memiliki RDTR dalam bentuk digital. Sampai sekarang belum ada 200 RDTR yang dirilis oleh pemerintah daerah, sangat jauh dari target 2.000 RDTR yang semestinya dikeluarkan.

”Padahal, untuk mengurus izin lokasi atau persetujuan pemanfaatan ruang, pengusaha itu harus memenuhi syarat kesesuaian dengan RDTR. Artinya, ketika RDTR belum ada, pengusaha akan mengajukan izin lokasi berdasarkan rencana tata ruang yang umum, dan itu yang membuat banyak usaha yang tidak sesuai dengan peruntukannya di daerah,” ujarnya.

Menurunkan daya beli
Di sisi lain, apa yang dulu menjadi kekhawatiran buruh dari UU Cipta Kerja mulai terbukti. Presiden Asosiasi Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan, atas nama fleksibilitas kerja, kehadiran UU Cipta Kerja semakin menurunkan daya beli pekerja dan ujung-ujungnya mengganggu perekonomian nasional.

Ia mencontohkan, UU Cipta Kerja semakin memperkuat penetapan upah murah bagi pekerja Indonesia. Lewat UU tersebut, laju kenaikan upah minimum semakin tertahan. Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok akhir-akhir ini, upah yang stagnan itu semakin menggerus daya beli masyarakat.

”Dampaknya, daya beli turun. Upah sudah tidak bisa mengimbangi harga pangan dan kebutuhan dasar yang cenderung semakin tidak terkendali. Daya beli yang turun ini juga membuat barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan menjadi tidak laku,” kata Mirah.

Dampak terusannya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi. Kondisi perekonomian global yang melemah, serta kondisi permintaan yang buruk di dalam negeri akibat penurunan daya beli pekerja, membuat perusahaan yang sudah tidak bisa bertahan akhirnya melakukan PHK massal.

Dampaknya tidak main-main. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang mengalami PHK secara nasional sepanjang Januari-Juni 2024 telah mencapai 101.536 orang. Jumlah itu jauh lebih banyak dibandingkan angka PHK pada periode yang sama pada 2022, yaitu sebanyak 25.114 orang, dan pada 2023 sebanyak 80.303 orang.

”UU Cipta Kerja awalnya ditargetkan menjadi undang-undang untuk mengundang investasi masuk ke Indonesia. Namun, kenyataannya kini justru mendorong banyak perusahaan tutup dan PHK massal di mana-mana,” ujar Mirah.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, UU Cipta Kerja belum bisa meningkatkan pembukaan lapangan kerja secara lebih besar untuk mengatasi defisit lapangan kerja.

"Sejak UU Cipta Kerja hadir, masih tetap terjadi defisit lapangan kerja. Tahun 2023, terbuka lapangan kerja formal sekitar 1,8 juta, padahal pertumbuhan angkatan kerja mencapai 4 juta lebih," katanya.

Di sisi lain, UU Cipta Kerja dan regulasi turunannya justru menambah tingkat pengangguran. Sebabnya adalah PHK yang semakin mudah dilakukan. Itu terlihat dari semakin banyaknya alasan melakukan PHK yang termuat dalam PP 35 Tahun 2021 sebagai turunan UU Cipta Kerja.

Timboel mengatakan, sebelumnya, hanya ada 15 alasan PHK yang diatur di UU Cipta Kerja. Dalam peraturan turunannya, jumlah itu bertambah jadi 26 alasan PHK. "Demikian juga, kompensasi PHK turun drastis di PP, sehingga pengusaha jadi lebih mudah mem-PHK." ujarnya.

Pekerja yang lolos dari PHK pun tidak lepas dari masalah. Sebab, UU Cipta Kerja membuat kenaikan upah minimum pekerja semakin tertahan. Timboel mengatakan, ini adalah produk UU Cipta Kerja yang paling menghantam daya beli pekerja.

Dengan UU Cipta Kerja, kenaikan upah minimum relatif masih di bawah inflasi riil untuk kebutuhan pokok pekerja seperti inflasi pangan dan papan (kontrakan). Artinya, UU Cipta Kerja tidak mampu meningkatkan daya beli buruh untuk mendukung konsumsi agregat masyarakat. Ujung-ujungnya, laju pertumbuhan ekonomi nasional terus-menerus stagnan di batas bawah 5 persen.

"Hal-hal di atas menyebabkan semakin menurunnya daya beli pekerja dan menyebabkan tergerusnya kelas menengah kita," kata Timboel.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/08/25/uu-cipta-kerja-dulu-dikebut-diam-diam-kini-melempem


Dibaca 379 kali