Logo KPPOD

Lagu Lama Kendala Izin Berusaha

kompas.id - 30 Januari 2023

Lagu Lama Kendala Izin Berusaha

Sudah dua tahun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diterapkan. Namun, regulasi sapu jagat yang digadang-gadang menjadi game changer atau pengubah arah permainan untuk menyederhanakan prosedur perizinan berusaha itu masih jauh panggang dari api.

Kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tidak akan banyak berdampak pada peningkatan investasi, selama problem klasik kusutnya koordinasi lintas kementerian/lembaga serta relasi pemerintah pusat dan daerah tak kunjung dibenahi.

Sejak UU Cipta Kerja disahkan November 2020, pemerintah mengubah prosedur perizinan berusaha menjadi berbasis risiko (risk-based approach). UU itu mengamanatkan, perizinan usaha dilakukan melalui satu platform daring, yaitu Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA).

Dengan prosedur berbasis risiko itu, pengusaha hanya perlu mengurus izin sesuai tingkat risiko kegiatan usahanya. Aplikasi OSS-RBA juga akan mengintegrasikan ke-16 sektor perizinan berusaha dan 18 kementerian/lembaga (K/L) yang memegang kewenangan penerbitan izin usaha di berbagai sektor.

Pengurusan izin usaha pun diharapkan bisa lebih singkat, efisien, dan menutup celah korupsi akibat banyaknya pintu perizinan. Sesuai kajian Bank Dunia (2020), kendala perizinan berusaha dan korupsi menjadi salah satu faktor utama mengapa peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia masih rendah.

Lewat dua tahun, realitas belum sesuai harapan. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani, implementasi sistem OSS-RBA sejauh ini baru efektif untuk mengurus izin bagi usaha berskala kecil yang model bisnisnya sederhana serta dampak risikonya terhadap lingkungan dan masyarakat rendah, seperti usaha toko kelontong.

Namun, sistem itu belum memudahkan pengurusan izin usaha berskala menengah-besar yang memiliki risiko dampak lingkungan lebih tinggi serta membutuhkan beragam perizinan sektoral lain, seperti persetujuan bangunan gedung (PBG) hingga analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Menurut dia, masih banyak data yang tidak sinkron antar-K/L, pemerintah daerah, dan sistem OSS-RBA. Itu membuat pengusaha tetap perlu mondar-mandir ke sejumlah instansi untuk mengurus perizinan hingga menghabiskan waktu dan tenaga. Ada pula kasus di mana pengusaha sudah mengirimkan seluruh berkas secara daring, tetapi perizinan tak kunjung keluar.

”Pada praktiknya, pengurusan izin tidak bisa secara online karena banyak proses yang belum masuk dalam sistem OSS-RBA. Akhirnya, tetap saja pengusaha harus mendatangi kantor instansi terkait dan mengurusnya tatap muka,” ujar Hariyadi, Kamis (26/1/2022).

Ia menilai, salah satu masalah implementasi OSS RBA adalah masih adanya ego sektoral antar-K/L, serta antara pemerintah pusat dan daerah, yang mengakibatkan banyak data belum terintegrasi ke dalam satu sistem sehingga pengurusan izin usaha tetap harus secara tatap muka. ”Saya kira tujuannya sudah baik, tetapi implementasinya yang masih harus dibenahi,” ujar Hariyadi.

”Help desk”

Kendala perizinan juga dikeluhkan pengusaha properti dan menjadi isu utama yang disoroti Rapat Kerja Nasional Realestat Indonesia (REI) 2022. Menurut Ketua Umum REI Paulus Totok Lusida, selama nyaris dua tahun ini, muncul kesan kehadiran UU Cipta Kerja justru mempersulit urusan perizinan.

”Selama ini (OSS-RBA) tidak optimal karena komunikasi (lintas kementerian) tidak lancar, sistemnya belum terintegrasi. Untuk mengurus satu izin ke izin lainnya harus menunggu lama, sampai ada kesan apakah pemerintah ini cuma pencitraan,” katanya.

REI pun mengusulkan agar pemerintah membentuk help desk yang terdiri dari 12 K/L yang mengurusi perizinan usaha di sektor properti. Lewat help desk yang rencananya mulai beroperasi Februari 2023 itu, ia meyakini urusan perizinan yang lambat dan menyangkut di instansi tertentu bisa lebih cepat diatasi.

”Memang jadinya tidak fully computerized lewat sistem OSS-RBA, karena izin tetap diurus di software terpisah tiap kementerian. Tapi setidaknya biar jalan dulu, ini bisa dipakai untuk transisi sampai sistem OSS-RBA diperbaiki,” katanya.

Keluhan pengusaha itu sejalan dengan kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bahwa integrasi OSS-RBA dengan sistem perizinan lain yang dikelola kementerian sektoral, seperti SIMBG (persetujuan bangunan gedung), GISTARU (persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang), dan AMDALNet (persetujuan lingkungan), tidak berjalan semestinya.

Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman menilai, belum menyatunya berbagai sistem sektoral itu adalah konsekuensi UU Cipta Kerja tidak eksplisit mengatur bahwa sistem OSS-RBA menjadi sistem tunggal pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko. ”Itu akhirnya memberi ruang bagi K/L lain untuk mengembangkan sistemnya masing-masing,” katanya.

Terganjal RDTR

Kendala lain adalah belum terintegrasinya data penting di daerah ke dalam OSS-RBA, seperti rencana detail tata ruang (RDTR) untuk memproses izin lokasi usaha atau kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR). Data Kementerian Investasi, dari total 2.000 RDTR, baru 118 daerah yang sudah memiliki RDTR digital yang terintegrasi dengan OSS-RBA.

Armand mengatakan, ini masalah serius karena RDTR memegang peran penting untuk memastikan suatu izin usaha sejalan dengan prinsip tata ruang serta keberlanjutan lingkungan dan sosial di daerah.

Ketika suatu daerah tidak punya RDTR, konfirmasi atas izin lokasinya harus diurus terpisah ke pemerintah pusat, yang akan memberi persetujuan berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). ”Masalahnya, RTRW sifatnya sangat umum. Sudah ada beberapa contoh izin usaha baru yang dari sisi lokasi sebenarnya tidak pas, tapi diizinkan,” katanya.

Ia menilai, kendala RDTR itu tanggung jawab pemda sekaligus pusat. Dari sisi pemda, penyusunan rancangan RDTR berlarut-larut karena minimnya anggaran untuk melakukan kajian tata ruang. Terkadang penyusunan RDTR juga terhambat kepentingan politik. Sementara, dari sisi pusat, persetujuan substansi oleh kementerian kerap memakan waktu lama.

Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi Yuliot mengakui, OSS-RBA memang belum berjalan sesuai harapan. Oleh karena itu, Kementerian Investasi terus berkoordinasi dengan K/L lain untuk membenahi dan mengintegrasikan berbagai sistem yang ada ke OSS-RBA.

”Bayangkan, ada 68 sistem yang akan terintegrasi dengan OSS. Sehingga, ketika ada satu sistem yang bermasalah, yang tampak berantakan itu OSS yang ada di depan. Oleh karena itu, sekarang kami lagi berusaha menyelesaikan persoalan sistem di berbagai K/L itu dulu,” katanya.

Percepatan RDTR juga terus didorong ke daerah-daerah yang belum memiliki RDTR. Menurut Yuliot, meski belum sempurna, jumlah RDTR digital yang rampung terus bertambah. Pertengahan tahun lalu, baru 68 daerah yang memiliki RDTR digital. Saat ini, 118 daerah sudah mengintegrasikan RDTR-nya ke sistem OSS-RBA.

Pemerintah juga sedang mengejar percepatan RDTR digital khusus daerah-daerah padat investasi. Ada 500 daerah berkategori padat investasi yang sudah dipetakan dan akan menjadi prioritas. ”Ini tandanya mulai ada progres dan akan terus dipercepat,” ujarnya.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/01/28/lagu-lama-kendala-izin-berusaha-tematis-perppu


Dibaca 794 kali