Deduksi - Induksi Otonomi
- 1 Januari 1970
Ide ini dalam konteks demokratisasi di Indonesia cukup menyentak banyak pihak. Pertanyaan yang menarik adalah bagaimana terbentuknya konsep ini di benak Mendagri sehingga sampai diluncurkan ke publik? Saya melihat suara Gamawan bertolak dari pengalaman pribadi sejak menjadi Bupati Solok.
Menjadi bupati, dengan benevolent style, ia mampu membawa Solok ke kemajuan. Tetapi, begitu menjadi Gubernur Sumatera Barat, ia menghadapi begitu bervariasinya respons bupati/wali kota di wilayahnya dengan otonomi yang diatur dalam UU, khususnya ketika berhubungan kerja dengan gubernur. Dengan cara pikir berdasarkan pengalaman sebagai gubernur, ia ingin meracik tugas-tugas gubernur ke depan dalam kancah otda di Indonesia. Ini cara induktif dalam otonomi.
Proses induksi otonomi ini adalah pembentukan konsep otonomi yang datang dari tataran empirik, dari trial and error kebijakan menjadi ide, konsep, dan bahkan bisa jadi teori. Kedudukan, tugas, dan fungsi gubernur pada masa Gamawan bertugas diatur menjadi wakil pemerintah sekaligus kepala daerah. Bahkan konsep ini sudah lahir sejak Hindia Belanda belum menerapkan otda di Indonesia.
Dalam konsep ini, sebetulnya sudah terkandung nilai-nilai supremasi sipil di mana gubernur, siapa pun dia, ex officio dapat mengendalikan seluruh instansi pemerintah di wilayahnya, termasuk militer. Di Perancis, pada masa Napoleon Bonaparte sebagai orang yang pertama mengembangkan sistem ini, wakil pemerintah dijadikan pula ketua DPRD di samping kepala daerah otonom. Modifikasi dikembangkan dengan mencabut kedudukannya sebagai ketua DPRD. Pertimbangan utamanya karena melukai nilai demokrasi, tetapi kedudukannya sebagai kepala daerah masih dipertahankan hingga kini. Sistem ini dikenal dengan nama Prefektur Terintegrasi.
Kendali sebagai wakil pemerintah akan semakin kuat jika rantai komando ke bawah juga mengalir dan dikembangkan institusi lapangan di bawahnya seperti di Indonesia pada masa rezim Soeharto. Bahkan, dengan implisit Pak Harto mengatur agar wakil pemerintah yang juga kepala daerah diisi elemen militer. Jadi, mudah mengendalikan militer lapangan melalui wakil pemerintah. Ini yang tidak dibaca Gamawan. Pak Harto tidak suka supremasi sipil sehingga direkayasa jabatan gubernur diisi kalangan militer.
Sejak UU No 22/1999, channel ke bawah dari gubernur sebagai wakil pemerintah diputus. Sebagai kepala daerah pun, dengan birokrasi daerah provinsinya tetap tak diperkenankan membuka cabang ke pelosok wilayahnya. Kondisi ini berlanjut di bawah UU No 32/2004. Hanya ada tekanan tertentu untuk tugas-tugas sebagai wakil pemerintah dengan kondisi rantai kelembagaan yang relatif sama. Hal ini kemudian dikuatkan pula dengan pilkada langsung.
Tuntas dan utuh
Kondisi empirik ini berbeda dari konsep dan teori yang berkembang di tataran internasional. Modifikasi dapat saja dilakukan di tiap negara, tetapi harus diamati betul kondisinya secara holistik. Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan pendekatan deduktif. Pendekatan deduktif datang dari konsep atau teori, turun menjadi kebijakan sampai pedoman teknis.
Konsep-konsep yang ada digunakan untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan empiris atau menjelaskan tacit knowledge dan implicit knowledge. Perubahan kebijakan disesuaikan dengan teori yang berlaku. Pendekatan ini jadi tampak top-down, teknokratis, dan dari Jakarta. Namun, memiliki keunggulan karena dalam derajat tertentu mampu menempatkan obyek sistem pemerintahan daerah dalam konteks pemerintahan nasional secara lebih holistik.
Kedua pendekatan sangat dibutuhkan. Sudah banyak penelitian dilakukan, bahkan hampir di seluruh negara di dunia ini. Sudah banyak best practice yang ditemui, baik dalam rangkaian satu waktu di daerah-daerah di Indonesia, dalam jangka waktu tertentu di satu daerah, ataupun antarnegara dalam satu kurun waktu dan dalam jangka panjang di negara tertentu yang hasilnya bisa dijadikan acuan kebijakan.
Dilihat dari pengalaman sejarah, dengan cara deduktif, kita menganut model Perancis. Kita tahu Hindia Belanda mengikuti model ini karena Belanda pernah dijajah Perancis dengan modifikasi terbatas (Humes IV: 1991). Sejak UU No 22/ 1999 dan UU No 32/2004, kita menganut model Jerman dengan modifikasi. Pada masa UU No 22/1999 terdapat kekuasaan yang besar untuk DPRD dengan hak impeach kepada kepala daerah dan dihapus pula dekonsentrasi di level kabupaten/kota, bahkan menyangkut instansi vertikal beberapa sektor pemerintahan, meski Jerman sendiri tak seperti itu.
UU No 32/2004 pun masih relatif sama dengan model Jerman ditambah pilkada langsung, padahal di Jerman tak dilakukan mekanisme ini. Sudah saatnya kita memperbaiki secara holistik dan kontinu sistem Jerman yang cocok untuk NKRI agar pemerintahan ke depan efektif.
Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP UI
--- (Sumber KOMPAS - Kamis, 18 November 2010 – Hal. Opini) ---
Dibaca 1237 kali