BANSOS DAERAH MAMPU JAGA DAYA BELI. BISA JAGA INFLASI JUGA?
bisnisindonesia.id - 14 September 2022
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menerbitkan aturan tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun 2022. PMK 134/2022 mengatur kewajiban pemerintah daerah menganggarkan belanja perlindungan sosial dalam rangka mendukung program penanganan dampak inflasi. Meski begitu, pengamat mengingatkan bansos daerah belum tentu bisa meredam inflasi.
Anggaran belanja wajib perlindungan sosial tersebut harus dianggarkan untuk periode Oktober sampai Desember 2022.
Selain perlindungan sosial (perlinsos) yang menjadi kewajiban pemerintah daerah, pemerintah sudah mengalokasikan bantuan sosial berupa bantuan langsung tunai pengalihan subsidi BBM dan bantuan subsidi upah.
Ketua Komite Analis Kebijakan Apindo Ajib Hamdani menilai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/2022 hanya bisa membantu menangani daya beli masyarakat.
"Efek kenaikan BBM ini memang kompleks, yaitu penurunan daya beli masyarakat dan inflasi. PMK ini sementara hanya bisa membantu menangani daya beli masyarakat," kata Ajib, Minggu (11/9/2022). Menurut Ajib, inflasi dikendalikan ketika pemerintah mengintervensi dalam bentuk regulasi sehingga harga pokok penjualan atau HPP atas barang dan jasa bisa lebih turun.
Misalnya, dengan memberikan subsidi bunga bagi UKM atau kembali memperpanjang restrukturisasi kredit.
Di sisi lain, dia mengatakan, masing-masing daerah harus membuat penyesuaian yang diperlukan agar PMK ini dapat dilaksanakan.
Dalam PMK yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Senin (5/9/2022)
pemerintah daerah (pemda) diarahkan untuk menganggarkan belanja wajib perlinsos periode Oktober hingga Desember 2022.
Belanja wajib perlinsos dimaksud antara lain digunakan untuk pemberian bansos termasuk kepada pengemudi ojek, UMKM, dan nelayan, penciptaan lapangan kerja, serta pemberian subsidi sektor transportasi angkutan umum di daerah.
Besaran dana yang dianggarkan adalah 2 persen dari Dana Transfer Umum atau DTU (DAU dan DBH) sebagaimana tertuang dalam Perpres mengenai rincian APBN TA 2022.
Adib menilai pentingnya penganggaran belanja wajib perlinsos periode Oktober hingga Desember 2022/ Hal itu menjadi krusial karena pertumbuhan ekonomi harus tetap dijaga dengan baik.
"Jangan sampai inflasi lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi yang ada," ujarnya.
Alokasi Bansos Bantu Efisiensi APBD
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai penggunaan anggaran pemda untuk bantuan sosial sebagai hal yang tepat. Hal itu dikaitkan dengan terlalu besarnya saldo pemda yang menumpuk di bank. Meski begitu, Bhima menyebutkan ketentuan besaran alokasi 2 persen semestinya tidak dipukul rata di seluruh daerah.
Bhima menyebutkan esensi pengalokasian APBD untuk bansos adalah agar pemda lebih efisien dalam menggunakan dananya.
Mandat efisiensi tercermin dari pengalokasian 2 persen anggaran untuk bansos serta dalam syarat dan laporan penyalurannya.
Menurut Bhima kebijakan itu akan sangat berpengaruh dalam mengurangi dana APBD yang 'menganggur' dan hanya terparkir di perbankan. Dalam kondisi krisis seperti saat ini, belanja pemda sangat penting untuk menggerakkan perekonomian dan meredam inflasi.
"Selama ini penyerapan anggaran di daerah masih dinilai bermasalah. Misalnya, dana pemda yang menumpuk di perbankan masih cukup tebal, sampai Juli 2022 saja ada Rp212 triliun yang belum terserap, sebagian dalam bentuk deposito di bank daerah. Daripada mubazir, lebih baik 2 persen yang sebenarnya tidak seberapa disalurkan ke bansos," ujar Bhima, Minggu (11/9/2022).
Meskipun begitu, pemerintah pusat semestinya tidak memukul rata kebijakan alokasi 2 persen dana transfer umum (DTU) dari seluruh daerah.
Bhima menyebutkan ihwal adanya ketimpangan kondisi fiskal di antara sejumlah daerah, terutama daerah-daerah di Pulau Jawa dengan luar Jawa. Ketimpangan itu bisa membuat kebijakan 2 persen anggaran wajib tidak akan maksimal di daerah dengan kapasitas fiskal rendah.
Pemerintah seharusnya membuat proporsi realokasi anggaran bansos berdasarkan kapasitas fiskal atau tingkat simpanan uang di bank.
Hal tersebut dapat berarti alokasi lebih tinggi dari 2 persen di daerah dengan simpanan tinggi, atau alokasi lebih rendah dari 2 persen di daerah dengan kapasitas fiskal kecil.
"Sasar saja pemda yang APBD-nya tebal-tebal. Sementara pemda yang APBD-nya kecil, tapi kinerjanya sudah bagus, bisa dapat batas bawah kurang dari 2 persen untuk bansos," katanya.
Bhima menilai kebijakan pukul rata rentan menyebabkan berkurangnya realisasi belanja yang sangat penting, seperti stimulus usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Padahal, lanjutnya, belanja tersebut sama pentingnya dengan penyaluran bansos, sehingga harus tersalurkan bersama tanpa saling mengurangi pos anggaran.
Bhima menyarankan agar pemerintah memberikan insentif bagi pemda yang berhasil membelanjakan anggaran dengan optimal, serta menyalurkan bansos dengan sigap dan tepat sasaran. Hal tersebut bukan hanya dapat membantu masyarakat, tetapi juga mendorong pengelolaan fiskal daerah yang lebih baik.
"Bisa dalam bentuk penambahan dana alokasi khusus tahun 2023 sebagai insentif, sehingga pemda bersemangat mengendalikan inflasi sekaligus menjaga daya beli kelompok rentan," kata Bhima.
Sanksi dan Reward
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) meminta pemerintah tidak hanya memberikan sanksi guna mendorong pengendalian inflasi di daerah. KPPOD juga meminta pemerintah pusat memberikan apresiasi berupa insentif tambahan bagi daerah yang mampu mengendalikan inflasi.
"Untuk mendorong kinerja, menurut kami tidak hanya dengan disinsentif atau sanksi, tapi untuk daerah yang berhasil mengendalikan inflasi juga diberikan jaminan untuk diberikan insentif tambahan," ujar Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman, Minggu (11/9/2022).
Di sisi lain, Armand mengingatkan bahwa sanksi dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi di daerah. Jika Dana Transfer Daerah (DTU) ditunda, layanan publik di daerah dapat terganggu.
Di lain sisi Armand menilai kebijakan ini akan efektif apabila didukung dengan kebijakan lain yang mampu mengatasi inflasi di daerah.
"Yang kita harapkan sebetulnya dengan kondisi saat ini, pemda terutama pemprov perlu memfasilitasi kerja sama antardaerah karena lalu lintas barang, komoditi itu tergantung bagaimana kebijakan antardaerah, [sehingga] perlu support antardaerah," ujarnya.
Selain itu, lantaran tingkat inflasi antardaerah berbeda-beda, alokasi 2 persen tidak serta merta dipukul rata untuk semua daerah.
KPPOD menyarankan selain adanya PMK 134/2022, perlu adanya intervensi antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Agar kebijakan ini berjalan efektif, KPPOD meminta pemda membangun koordinasi yang baik dengan TPID.
"TPID ini benar-benar musti dioptimalkan dan berkoordinasi dengan SKPD yang terkait terutama untuk lalu lintas 9 barang pokok," ujar Armand.
Bansos Daerah Belum Tentu Bisa Redam Inflasi
Ekonom Center of Reform on Economics atau Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengingatkan untuk memastikan pengendalian inflasi di daerah perlu pendekatan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah.
Yusuf menjelaskan, kewajiban pemda mengalokasikan 2 persen dana transfer umum untuk bansos dapat mendorong belanja yang lebih optimal. Berlakunya kebijakan itu dapat membantu masyarakat di daerah dengan porsi anggaran bansos yang kecil, terutama karena alasan kapasitas fiskal.
Meskipun begitu, Yusuf menilai kebijakan tersebut baru efektif untuk menjaga daya beli masyarakat dari tekanan akibat mahalnya harga berbagai kebutuhan.
Sementara itu, penyaluran bansos melalui APBD belum tentu dapat menangkal inflasi di tingkat daerah.
"Pemerintah daerah perlu jeli dalam melihat kebijakan yang diperlukan, karena kalau kita bicara bansos, sebenarnya itu lebih kepada bagaimana menangkal efek dari inflasi ke daya beli masyarakat secara umum. Namun, kalau kita berbicara bagaimana cara untuk menangkal inflasi, saya pikir pendekatannya akan relatif berbeda," ujar Yusuf.
Menurut Yusuf pemda perlu menilik permasalahan di daerahnya, misalnya apakah terdapat kendala produksi untuk bahan pangan atau masalah lainnya. Setelah itu, baru lah pemda mengalokasikan anggaran untuk menyelesaikan penyebab inflasi tersebut, baik melalui alokasi bansos maupun pos anggaran lainnya.
"Kalau dari konteks itu, ini [penyaluran bansos] bisa [menjaga inflasi]. Namun, ini membutuhkan kejelian dari aparatur pemda dalam melihat faktor-faktor yang menyebabkan inflasi di masing-masing daerah," kata Yusuf.
Isi PMK 134/2022
Pasal 2 hingga 4 PMK 134/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun 2022 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
( 1) Dalam rangka mendukung program penanganan dampak inflasi, Daerah menganggarkan belanja wajib perlindungan sosial untuk periode bulan Oktober 2022 sampai dengan bulan Desember 2022.
(2) Belanja wajib perlindungan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain digunakan untuk:
a. pemberian bantuan sosial, termasuk kepada ojek, usaha mikro, kecil, dan menengah, dan nelayan;
b. penciptaan lapangan kerja; dan/ a tau c. pemberian subsidi sektor transportasi angkutan umum di daerah.
(3) Bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a termasuk di dalamnya bantuan sosial tambahan.
(4) Belanja wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan sebesar 2% (dua persen) yang bersumber dari DTU sebagaimana ditetapkan dalam peraturan presiden mengenai rincian anggaran pendapatan dan belanja negara Tahun Anggaran 2022.
(5) DTU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk DBH yang ditentukan penggunaannya.
(6) Besaran DTU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan sebesar penyaluran DAU bulan Oktober 2022 sampai dengan bulan Desember 2022 dan penyaluran DBH triwulan IV Tahun Anggaran 2022.
(7) Belanja wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk belanja wajib 25% (dua puluh lima persen) dari DTU yang telah dianggarkan pada APBD Tahun Anggaran 2022.
Pasal 3
Daerah menganggarkan belanja wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat ( 1) dengan melakukan perubahan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD Tahun Anggaran 2022 untuk selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Daerah mengenai perubahan APBD Tahun Anggaran 2022 atau laporan realisasi anggaran bagi Daerah yang tidak melakukan perubahan APBD Tahun Anggaran 2022 atau telah melakukan perubahan APBD Tahun Anggaran 2022.
Pasal 4
( 1) Daerah melaporkan penganggaran dan realisasi atas belanja wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
(2) Laporan penganggaran belanja wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Menteri Keuangan j jdih.kemenkeu.go.id - 4 - c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat pada tanggal 15 September 2022.
(3) Laporan realisasi atas belanja wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan berkenaan berakhir.
(4) Laporan realisasi belanja wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam bentuk file Portable Document Format (PDF) melalui surat elektronik (e-maiij resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
(5) Dalam hal batas waktu penerimaan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, penerimaan laporan dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.
(6) Kepala Daerah bertanggung jawab mutlak atas penganggaran belanja wajib perlindungan sosial dalam APBD Tahun Anggaran 2022 serta pelaksanaannya
(7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah melalui pengawasan dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah Daerah.
(8) Penyampaian laporan realisasi atas belanja wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang bertepatan dengan langkah-langkah akhir tahun disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dokumen persyaratan penyaluran DAU bulan Oktober 2022 atau penyaluran DBH PPh Pasal 25/Pasal 29 triwulan III bagi Daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAU.
(10) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dokumen persyaratan penyaluran DAU bulan berikutnya atau penyaluran DBH PPh Pasal 25/Pasal 29 triwulan IV bagi Daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAU.
(11) Terhadap Daerah yang belum disalurkan DAU atau DBH, penyaluran DAU atau DBH dilakukan setelah dokumen persyaratan disampaikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(12) Dalam hal sampai dengan tanggal 15 Desember tahun berjalan dokumen persyaratan penyaluran belum diterima, penyaluran DAU atau DBH yang belum disalurkan dilaksanakan secara sekaligus sebesar DAU atau DBH yang belum disalurkan paling lambat 2 (dua) hari kerja terakhir di bulan Desember tahun berjalan.
(13) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan juga kepada Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah.
(14) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Sumber: https://bisnisindonesia.id/article/bansos-daerah-mampu-jaga-daya-beli-bisa-jaga-inflasi-juga
Dibaca 608 kali