. Pandemi dan Pemilu, Batu Ujian Penjabat Kepala Daerah
Logo KPPOD

Pandemi dan Pemilu, Batu Ujian Penjabat Kepala Daerah

kompas.id - 28 Juni 2022

Pandemi dan Pemilu, Batu Ujian Penjabat Kepala Daerah

Tugas berat menanti penjabat kepala daerah. Tak sebatas mengatasi pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi, mereka juga harus mampu menjaga stabilitas sosial dan politik menjelang Pemilihan Umum 2024. Untuk itu, penjabat tak cukup hanya memiliki kapasitas dan integritas, tetapi juga harus piawai dalam memimpin dan menjalin relasi dengan berbagai pihak, dengan tetap menjaga netralitas.

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah serentak pada 2024 berimplikasi pada pengisian penjabat kepala daerah di banyak tempat. Setidaknya 272 daerah akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah hingga 2024. Para penjabat itu akan memimpin jalannya pemerintahan daerah hingga terpilihnya kepala daerah definitif hasil dari Pilkada 2024.

Banyaknya jumlah dan lamanya masa jabatan penjabat kepala daerah menimbulkan kekhawatiran, terutama terkait netralitas dalam Pilkada 2024. Karena itu, banyak kalangan menuntut agar penunjukannya dilakukan secara demokratis, transparan, dan akuntabel.

Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana penunjukan penjabat kepala daerah. Perintah MK itu awalnya cenderung diabaikan. Sepanjang Mei 2022, ada lima penjabat gubernur dan 43 penjabat bupati/wali kota yang ditetapkan sebelum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerbitkan peraturan pelaksana yang diperintahkan MK.

Baru sekarang Kemendagri menyiapkan aturan teknis pemilihan penjabat kepala daerah. Peraturan pelaksana pengangkatan penjabat itu ditargetkan bisa diimplementasikan mulai Juli 2022.

Aturan teknis ini sangat dibutuhkan agar penjabat yang ditunjuk memiliki kapasitas dan kualitas mumpuni saat memimpin daerah. Apalagi, tantangan yang bakal mereka hadapi jauh lebih berat. Berbeda dengan tantangan yang biasa mereka hadapi kala duduk sebagai birokrat, entah sebagai pejabat pemimpin tinggi madya ataupun pratama.

Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar menjelaskan, kondisi pandemi Covid-19 semakin memperberat kerja para penjabat. Ini karena mereka harus mampu memimpin daerahnya keluar dari krisis multisektor akibat pandemi Covid-19. Tak hanya krisis kesehatan, tetapi juga sosial dan ekonomi.

Mereka juga harus menyukseskan Pemilu dan Pilkada 2024. Parameter kesuksesan tidak hanya dari penyelenggaraan pemilu dan pilkada, tetapi juga mencegah ajang itu menjadi alat untuk memecah belah bangsa dengan memanfaatkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”Memimpin itu soal seni mengelola pemerintahan. Tak bisa hanya sekadar pintar dan terkenal. Mereka harus memiliki kemampuan memahami sumber-sumber konflik dengan baik, mengatasinya, dan bagaimana memadamkannya. Ini butuh kepiawaian,” tutur Bahtiar di Jakarta, Jumat (24/6/2022).

Potensi konflik pada Pemilu 2024, menurut Bahtiar, tetap ada. Ini karena pemilu merupakan ajang kompetisi sehingga akan ada pertarungan gagasan, pikiran, dan pandangan. Respons publik atas pertarungan tersebut bisa beragam dan itu lumrah.

Hal yang mengkhawatirkan adalah ketika kontestan pemilu ataupun pilkada memobilisasi dukungan dengan memanfaatkan kefanatikan terhadap ideologi atau SARA tertentu. Lebih parah lagi, mereka justru menggunakan isu-isu SARA sebagai komoditas untuk menggaet dukungan masyarakat. Polarisasi tentu tak terhindarkan.

Itulah sebabnya, dibutuhkan penjabat kepala daerah yang mampu bersikap netral. Dengan demikian, tindakan serta kebijakan yang diambil tidak akan berpihak kepada salah satu kontestan. Para penjabat juga harus cakap mengidentifikasi gejala konflik di daerahnya, mana yang sebatas pertarungan gagasan, mana yang berpotensi berujung pada perpecahan.

”Makanya, mereka yang ditunjuk sebagai penjabat itu tak boleh sekadar berasal dari jabatan pemimpin tinggi madya atau pratama. Bisa syarat jabatan memenuhi, tetapi belum tentu mempunyai sikap leadership yang kuat dalam memimpin daerah,” ucap Bahtiar.

Kolaborasi

Untuk mencegah konflik di daerah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengingatkan pentingnya penjabat menjalin relasi yang baik dengan semua pemangku kepentingan di daerah. Konsolidasi dilakukan baik dengan internal pemerintahan, yakni satuan kerja perangkat daerah (SKPD), maupun eksternal dengan forum koordinasi pimpinan daerah (forkopimda).

”Jadi salah satu kunci di konsolidasi. Begitu dia sudah bangun kepercayaan, kemudian gerakannya harus kolaboratif. Dia harus mampu menjaga roh kolaborasi dengan para stakeholder,” tutur Suparman.

Konsolidasi dan kolaborasi menjadi krusial dalam memimpin sebuah daerah di tengah tantangan yang tak mudah. Apalagi, penjabat kepala daerah bukan merupakan hasil pemilihan langsung oleh rakyat, melainkan penugasan. Para penjabat ini tentu harus memperkuat legitimasinya di daerah yang dipimpinnya.

”Kalau tidak konsolidasi, dia pasti gagal menjalankan tugas-tugasnya, termasuk menjaga stabilitas sosial dan politik di sana,” ujar Suparman.

Namun, diakui bukan hal yang mudah untuk memperoleh penjabat dengan berbagai kriteria itu. MK, bahkan, menyebut, harus tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur, jelas, dan tak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.

Suparman mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam aturan teknis penunjukan penjabat. Antara lain pelibatan publik untuk memberikan masukan sebelum penjabat ditunjuk, kejelasan kewenangan penjabat, serta pemonitoran dan evaluasi penjabat.

Guru Besar Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan berpendapat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai representasi masyarakat daerah sebaiknya dilibatkan dalam penunjukan penjabat. Ini penting untuk menjaga situasi tetap kondusif selama kontes politik berlangsung.

DPRD dapat diberi peran memberikan saran dan masukan sebelum gubernur menyerahkan tiga nama kandidat penjabat bupati/wali kota kepada Kemendagri. Begitu pula nama tiga kandidat penjabat gubernur, DPRD perlu diminta saran dan masukan sebelum Menteri Dalam Negeri mengusulkan kepada Presiden.

Seiring dengan itu, ketiga nama kandidat penjabat perlu pula dibuka ke publik. Dengan demikian, publik bisa ikut memberikan saran dan masukan, baik kepada gubernur, mendagri, maupun DPRD. Pertimbangan masyarakat dan DPRD tersebut nantinya juga diserahkan sebagai catatan dalam pengajuan usulan penjabat kepala daerah ke Kemendagri ataupun Presiden.

Pelibatan DPRD juga penting mengingat para penjabat yang terpilih juga akan bekerja sama dengan DPRD, antara lain dalam pembentukan peraturan daerah dan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Jika relasi antara penjabat dan DPRD buruk, dikhawatirkan jalannya pemerintahan akan terganggu.

Pelibatan publik juga tak kalah penting. Publik bisa ikut mengingatkan gubernur atau anggota DPRD jika nama-nama calon penjabat yang diusulkan memiliki rekam jejak kurang baik. Ini menjadi bagian dari kontrol masyarakat dalam menentukan penjabat.

”Ini baru namanya partisipasi bermakna sehingga semua pihak ikut ambil bagian dalam menentukan penjabat. Jangan sampai penunjukan penjabat ini justru menjadi sumber konflik di masyarakat. Namanya nanti musim pemilu dan pilkada, itu bisa saja di akar rumput, diseret-seret persoalan penjabat yang tidak netral dan sebagainya. Bahaya. Kita harus menghindari itu,” ujar Djohermansyah.

Terlepas dari itu, lanjut Djohermansyah, penjabat seharusnya diberi kewenangan kuat karena penjabat tidak hanya bertindak sebagai kepala daerah, tetapi juga bisa dibilang sebagai ”orang pusat”.

Karena itu, dalam menjaga stabilitas sosial dan politik, penjabat tentu akan didukung oleh instansi-instansi pusat di daerah, seperti TNI, Polri, kejaksaan, dan instansi vertikal lainnya di daerah. Seluruh kekuatan dari pusat itu akan lebih mudah diorganisasi untuk ikut membantu tugas-tugas penjabat, salah satunya menjaga ketertiban dan keamanan menjelang Pemilu 2024.

”Namun, itu juga harus dibarengi dengan guidance (petunjuk) dari pusat. Kalau tidak ada petunjuk, instansi pusat yang ada di daerah itu juga akan cuek, akan menganggap sama saja hubungannya dengan kepala daerah biasa. Nanti jalannya bisa tidak seirama. Penjabat akan repot. Jadi, kita manfaatkan positifnya penjabat ini yang merupakan caretaker, yang orang pusat untuk menjaga kondusivitas daerah,” tutur Djohermansyah.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/06/24/pandemi-dan-pemilu-batu-ujian-penjabat-kepala-daerah


Dibaca 508 kali