Satu Kendali Hadapi Gelombang Ketiga Pandemi Covid-19
kompas.id - 14 Februari 2022
Angka kasus Covid-19 terus merangkak naik. Puncak gelombang ketiga pandemi Covid-19 yang didominasi varian Omicron pun di depan mata. Pengalaman melewati dua puncak gelombang pandemi sebelumnya seharusnya membuat pemerintah lebih siap menghadapi gelombang ketiga. Namun, yang terlihat sejak Omicron terdeteksi masuk ke Indonesia, pertengahan Desember lalu, justru sebaliknya. Kebijakan pusat kerap bertabrakan satu sama lain. Pusat dan daerah juga masih sering tak padu.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam berbagai kesempatan setelah Omicron terdeteksi di Indonesia selalu mengingatkan jajarannya, di pusat ataupun daerah, untuk mewaspadai ancaman gelombang ketiga pandemi akibat Omicron. Langkah-langkah pencegahan berikut antisipasi harus disiapkan. Berulang kali masyarakat juga diingatkan untuk mengurangi aktivitas di luar rumah, disiplin menerapkan protokol kesehatan, dan segera melakukan vaksinasi bagi yang belum.
Namun, apa yang terjadi, kasus Covid-19 justru terus merangkak naik, bahkan jumlah kasus harian dalam beberapa hari terakhir sudah melampaui jumlah kasus harian Covid-19 saat gelombang kedua pandemi terjadi pertengahan tahun lalu. Biang kesalahan salah satunya diarahkan pada masih adanya orang-orang dari luar negeri yang masuk ke Tanah Air dengan melabrak aturan karantina. Meski pusat telah menginstruksikan pengetatan, yang terjadi di lapangan, petugas di pintu-pintu masuk kongkalikong dengan mereka yang datang dari luar negeri sehingga mereka bisa masuk tanpa harus mendekam berhari-hari di pusat-pusat karantina yang disiapkan pemerintah.
Ketika kasus terus beranjak naik, sejumlah pihak belum melihat keseriusan pemerintah menghadapinya. Keseriusan sebatas tampak dalam pernyataan para pejabat. Namun, saat diturunkan dalam kebijakan, terlihat bagaimana pemerintah seolah menganggap remeh Omicron.
Lihat saja kebijakan pemerintah membuka pintu masuk kedatangan internasional untuk semua negara dengan alasan menjaga pemulihan ekonomi nasional, mulai pertengahan Januari lalu. Padahal, tak kurang-kurang Presiden mengimbau masyarakat untuk tidak ke luar negeri agar tak tertular Omicron.
Lihat juga kebijakan terkait dengan kegiatan belajar- mengajar. Pembelajaran tatap muka (PTM) tetap dipaksakan dengan dalih pemerintah melihat ada kemunduran dalam pembelajaran anak-anak meski sudah tampak nyata, di banyak sekolah, penularan terjadi di antara anak-anak saat di sekolah. Tak berhenti di situ, virus terbawa ke rumah sehingga tak terhindarkan merebaknya kluster keluarga.
Melihat langsung ancaman virus kian merebak di sekolah, sejumlah pemerintah daerah justru lebih sigap. PTM diputuskan untuk dihentikan sementara. Namun, yang terjadi kemudian, tak sedikit guru, orang tua, dan murid dibuat bingung dengan perbedaan kebijakan pusat dan daerah ini.
Tak hanya itu, kebingungan melanda sejumlah pemda yang memilih mengikuti kebijakan pusat. Di daerahnya, mereka menghadapi tuntutan yang luar biasa dari berbagai pihak agar PTM dihentikan. Selain karena kekhawatiran akan Covid-19 yang terus meluas, juga karena melihat di daerah lain telah berani memutuskan untuk menghentikan sementara PTM.
Sinergi di antara instansi
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Nurcahyadi Suparman mengingatkan, kebijakan pusat yang sering kali tak selaras dengan apa yang disampaikan para pejabatnya kemudian silang pendapat di antara instansi di pusat, kebijakan yang berubah-ubah, ditambah lagi perbedaan antara kebijakan pusat dan daerah, sudah sering terlihat dalam penanganan pandemi Covid-19 sejak Maret 2020.
Faktor-faktor itu pula yang membuat penanganan pandemi saat puncak gelombang pertama dan kedua terseok- seok. Korban terutama dari kesemrawutan itu adalah masyarakat. Banyak yang tertular, tak sedikit yang harus tutup usia.
Setelah melewati kedua puncak gelombang pandemi, seharusnya pemerintah memetik banyak pelajaran, salah satunya mencegah hal-hal tersebut terulang.
”Koordinasi di pemerintah pusat harus sejalan di antara kementerian dan lembaga. Kebijakan dari setiap instansi harus mengacu pada Satgas Covid-19 yang perannya mengoordinasikan semua kebijakan terkait dengan penanganan pandemi,” ujarnya.
Yang tak kalah penting, beri ruang pemda untuk mengambil kebijakan karena mereka yang lebih paham situasi dan kondisi di daerahnya. Diskresi seharusnya diperkenankan selama kebijakan yang dikeluarkan pemda tak justru bertabrakan dengan upaya penanganan pandemi. Untuk ini, peran pembinaan dan pengawasan terhadap pemda harus dioptimalkan pusat.
Habis masa jabatan
Fungsi pengawasan menjadi penting, terutama karena mulai pertengahan tahun ini masa jabatan kepala/wakil kepala daerah di 101 daerah akan berakhir. Sudah kerap terjadi sebelumnya, menjelang habis masa jabatan, pimpinan daerah justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Apalagi jika pimpinan daerah itu berencana maju kembali pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak Nasional 2024. ”Meskipun sejatinya, jika berhasil melewati pandemi, akan menjadi warisan yang baik bagi warganya,” ujar Herman.
Ketua Bidang Pemerintahan dan Pendayagunaan Aparatur Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia Nikson Nababan mengamini tentang pentingnya kesatupaduan pusat dan daerah dalam menghadapi pandemi, terutama saat ini puncak gelombang ketiga pandemi.
Karena itu, pemda berharap arahan dari pusat tak berbeda antara satu instansi dan instansi lainnya. Kebijakan pusat pun diharapkan senapas dengan realitas di lapangan. Sebagai contoh, pusat berulang kali mendesak masyarakat untuk segera vaksinasi, termasuk yang terbaru untuk menerima vaksin penguat. Desakan ini hendaknya ditindaklanjuti dengan percepatan distribusi vaksin ke daerah karena masih kerap terjadi, pasokan vaksin ke daerah masih kurang dari kebutuhan.
Pentingnya konsistensi pusat dalam mengeluarkan kebijakan juga disoroti oleh Ketua Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Seluruh Indonesia Lukman Said. Menurut dia, kebijakan pemerintah untuk pelaku perjalanan dari luar negeri tak konsisten. ”Omicron ini yang bawa dari luar (negeri). Harapan kami, dari DPRD Kabupaten, bandara internasional diperketat. Selain itu, yang hendak ke luar negeri ditahan dulu agar tidak bepergian,” ucapnya.
Ruang diskresi bagi pemda juga diharapkannya diberikan oleh pusat. Ini karena daerah dinilainya lebih memahami situasi dan kondisi terkait dengan perkembangan kasus Covid-19 di daerahnya, cara mengantisipasinya, sekaligus menjaga agar pemulihan ekonomi tetap berjalan.
Faktor kepemimpinan
Saat dihubungi pada Sabtu (12/2/2022), Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal ZA mengatakan, kewaspadaan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 tak berkurang. Komunikasi di antara instansi-instansi di pusat ataupun antara pusat dan daerah pun terus direkatkan untuk menangani pandemi. Kolaborasi semua instansi disadari sebagai kunci utama dalam menangani pandemi, terutama puncak gelombang ketiga yang akan datang.
Berkaitan dengan penanganan pandemi oleh pemda, pusat telah mengeluarkan beragam regulasi sebagai acuan pemda menyusun kebijakan. Kebijakan yang dikeluarkan pemda dibuka ruang untuk bisa disesuaikan dengan karakteristik dan kapasitas setiap daerah.
”Jika sifat kedaruratan dan mendesak, penyelenggara pemerintahan dapat mengambil kebijakan dengan diskresi dalam menyelesaikan, dan bertindak konkret dalam upaya penanggulangan Covid-19 sebagaimana diatur dalam UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Meskipun demikian, koridor besar tetap berada dalam policy nasional,” kata Safrizal.
Untuk itu, dalam penanganan Covid-19, penting pula hadirnya kepemimpinan yang efektif, tegas, dan cermat. Dengan kata lain, efektivitas penanganan Covid-19 di daerah akan menjadi pertaruhan besar bagi kredibilitas dan legitimasi pemerintahan yang ada di setiap pemda.
Anggota Komisi IX DPR yang membidangi persoalan kesehatan, Kurniasih Mufidayati, meminta pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat tidak meremehkan varian Omicron yang disebut-sebut gejalanya lebih ringan dari varian Delta. Sebab, penularannya lima kali lebih cepat dan cukup berpengaruh jika terpapar ke orang dengan komorbid.
”Jangan sampai menyepelekan, tetap waspada, dan segera ada antisipasi agar tidak terus melonjak. Seperti mulai diberlakukan beberapa pengetatan di daerah-daerah yang tingkat penularannya tinggi,” kata politisi asal Partai Keadilan Sejahtera ini.
Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono pun meminta pemerintah pusat dan daerah segera mengambil langkah yang cepat, tegas, dan terukur menyikapi lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir. Pemerintah berhati-hati dalam memutuskan sebuah kebijakan memotong rantai penyebaran Covid-19 dan menekan kurva penularan.
Selain itu, lanjut Edhie, kegiatan PTM harus dievaluasi karena banyak anak-anak sekolah yang terpapar. Tempat wisata dan pusat keramaian juga harus diberikan atensi secara ketat, tak ketinggalan program vaksinasi mesti terus berjalan secara cepat dan merata. Fasilitas kesehatan dan obat-obatan harus dipastikan ketersediannya agar kejadian sulitnya mencari fasilitas kesehatan saat pandemi gelombang kedua tak terulang.
“Tempat wisata dan pusat keramaian mesti juga diberikan atensi secara ketat. Program vaksinasi harus terus berjalan termasuk booster vaksin serta jangan lupa untuk memastikan agar ketersediaan obat, vitamin, dan alat test antigen atau swab PCR harga terjangkau tersedia luas,” ucapnya.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/02/13/satu-kendali-pusat-daerah-hadapi-gelombang-ketiga-pandemi
Dibaca 797 kali
