Sejumlah Catatan KPPOD Terhadap UU HKPD dan Tata Kelola Ekonomi Daerah
hukumonline.com - 17 Desember 2021
DPR bersama pemerintah telah bersepakat untuk memperkuat desentralisasi di daerah dengan resmi mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Keuangan Pusat Daerah (HKPD) dan Tata Kelola Ekonomi Daerah, Selasa (7/12) yang lalu. Seluruh kebijakan baik proses perancangan hingga implementasi dan monitoring yang tertuang dalam UU HKPD tersebut diharapkan dapat memfasilitasi ruang bagi stakeholder di daerah, sehingga apa yang menjadi kebijakan publik di daerah menjadi cerminan serta menjadi kebutuhan dan pemecahan masalah di daerah.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, melihat UU HKPD akan memberikan dampak besar bagi daerah dan pertumbuhan ekonomi yang positif, namun dengan berbagai catatan. Terkait UU HKPD ini sendiri, KPPOD memberi apresiasi atas inisiatif pemerintah dalam upaya merevisi UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah.
Menurutnya, pajak dan retribusi daerah mengalami banyak perkembangan baru di daerah, namun masih perlu direspons dari sisi kebijakan terutama dari UU. Dari catatan KPPOD, Armand mengungkapkan ada sejumlah Peraturan Daerah bermasalah terkait dengan pajak dan retribusi daerah ini. (Baca: RUU HKPD Dinilai Belum Optimal Hubungkan Keuangan Pusat-Daerah)
“Dari kajian KPPOD, Perda yang bermasalah pada tahun 2019 tercatat ada 300 perda bermasalah dari total 1000 Perda yang dikaji. Sebagian besar terkait Perda pajak dan retribusi. Masalah yang paling banyak ditemukan adalah dari legal yuridis yang sudah tidak sesuai dengan perundang-undangan terbaru. Selain itu sisi substansi ketentuan tarif yang memberatkan, sehingga menimbulkan dampak ekonomi negatif bagi daerah,” jelasnya.
Dari banyaknya masalah yang dihadapi dalam Perda tersebut, KPPOD menilai adanya UU HKPD ini merupakan bentuk dari respons pemerintah pusat dalam permasalahan yang ada di daerah. Dari beberapa kajian KPPOD terkait Perda yang bermasalah, tampaknya pajak dan retribusi daerah menjadi hal yang paling dilihat oleh pemerintah pusat.
“Pemerintah pusat melihat pajak dan retribusi ini sebagai satu-satunya pemasukan untuk pendapatan daerah, padahal dari perspektif tata kelola ekonomi daerah, ada fungsi lain yang harus dioptimalkan, yaitu fungsi regulerend,” ujarnya.
Ia melanjutkan, fungsi regulerend ini bisa menciptakan iklim investasi yang kondusif di daerah dan meningkatkan ekonomi positif bagi daerah. Dari kajian KPPOD adanya pemberian insentif dan kemudahan izin berusaha UMKM bisa menjadi dampak positif bagi pendapatan daerah.
Namun ia melanjutkan dari konteks yang lebih besar, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk meningkatkan daya saing terutama daya saing daerah yang berkelanjutan. “Ada satu upaya yaitu upaya reformasi dan regulasi birokrasi di Indonesia untuk bisa membangun pondasi bagi keberlanjutan lingkungan, sosial, ekonomi, dan tata kelola daerah,” sambungnya.
Adanya UU HKPD ini menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan tujuan dari sistem desentralisasi otonomi daerah, yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat bersama. Armand mengharapkan adanya UU HKPD bisa menjawab sekaligus menyeimbangkan fungsi regulerend dan budgeter di daerah.
Kemudian, terkait pengesahan UU HKPD banyak perbaikan dalam meningkatkan ekonomi daerah terkait UU ini. Pertama, sistem yang digunakan UU HKPD menggunakan sistem closed-list yang sudah menetapkan daftar tertutup.
“Hal ini cukup baik karena pemerintah pusat menentukan apa saja yang boleh diberi pajak. Sebelumnya, pemerintah daerah dalam UU No. 28 Tahun 2009 diberi kebebasan menentukan pajak dan retribusi yang nyatanya berdampak ekonomi negatif di daerah. Dengan sistem closed list ini masyarakat dan dunia usaha memiliki kepastian terkait pembayaran pajak kepada pemerintah,” jelasnya.
Selanjutnya, UU HKPD juga mengatur pajak kendaraan bermotor yang merupakan implikasi tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan dikeluarkannya objek pajak alat berat dari pajak kendaraan bermotor.
Selain itu KPPOD menilai adanya opsen, yaitu ketentuan baru baik pemerintah daerah dan kota menetapkan persentase tertentu atas beberapa pajak yang bisa membantu perbaikan dalam pajak dan retribusi. Sisi positif lainnya yang dilihat dari UU HKPD ini adalah adanya simplifikasi di sejumlah pajak dan retribusi daerah antara lain jasa hotel, restoran, kesenian-hiburan, penggunaan listrik, serta parkir yang masuk kedalam pajak barang dan jasa tertentu.
“Catatan positif dari UU ini ke depannya berpotensi dalam peningkatan pendapatan daerah, misalnya di beberapa ketentuan tarif, meski cukup kontraproduktif tapi dengan adanya fungsi regulerend dari pajak dan retribusi terkait opsen, kabupaten/kota bisa mendapatkan pendapatan dari pajak kendaraan bermotor dengan perkembangan terbaru,” ungkapnya.
Kemudian, UU HKPD menciptakan ruang bagi otonomi daerah dalam menetapkan tarif dengan sistem batas maksimal dan tidak memungut pajak yang potensinya tidak memadai. Pemerintah daerah juga diberi ruang untuk memberi insentif fiskal kepada pelaku usaha.
KPPOD juga menilai mengenai penetapan maksimal 30% belanja pegawai dalam APBD. Hal ini menjadi langkah yang bagus sehingga daerah perlu melakukan rasionalisasi belanja bagi pegawai.
Selain hal-hal positif yang dilihat oleh KPPOD, beberapa catatan juga harus menjadi perhatian dalam pengesahan UU HKPD ini. KPPOD menilai UU ini mengklasifikasikan beberapa pajak, seperti pajak hotel, restoran dan penerangan jalan ke dalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).
KPPOD mencatat mengenai penggunaan listrik ini, ada substansi dan pokok keluhan dari permohonan judicial review terkait pajak penerangan jalan yang belum diakomodir dengan jelas dalam UU HKPD. KPPOD melihat pajak penggunaan listrik yang dihasilkan secara mandiri ini tidak hanya persoalan terkait pajak penerangan jalan, namun juga penarikan pajak atas pengguna listrik yang dihasilkan sendiri.
Ada dua indikasi dalam aturan ini. Pertama, adanya keterbatasan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dan adanya inisiatif masyarakat secara mandiri dalam peningkatan perekonomian daerah. Ini perlu menjadi dipertimbangan terkait penentuan tarif agar tetap memperhatikan keseimbangan antara listrik yang dihasilkan sendiri dan kontribusi pemilik listrik yang dihasilkan sendiri terkait ekonomi daerah.
Selain itu, peningkatan tarif terkait pajak bumi dan bangunan yang naik dari 0,3% menjadi 0,5% dinilai akan memberatkan pelaku dunia usaha dan masyarakat pemilik properti. “Kita perlu memperhatikan terkait klaisifikasi tanah dan bagunan. UU ini harus lebih jelas memperhatikan mengenai perbedaan tanah dan bagunan yang berfungsi untuk lokasi usaha dan non usaha,” tambahnya.Catatan lain yang disoroti KPPOD adalah terkait ketentuan pajak air permukaan dan pajak air tanah. Meski tidak ada perubahan tarif, tapi dari dunia usaha khususnya usaha di sektor perhutanan itu bisa menimbulkan dampak ekonomi negatif. Hal ini akan mempengaruhi biaya produksi serta akan mempengaruhi harga dari industri tersebut.
KPPOD juga menilai penurunan tarif pajak terhadap kendaraan bermotor akan berdampak terhadap lingkungan dan kemacetan di daerah perkotaan. Selain itu, pajak mineral bukan logam dan batuan, juga mengalami penurunan dari tarif 25% menjadi 20%. Ini juga perlu ditindaklanjuti dari sisi kebijakan yang lain karena bisa meningkatkan eksploitasi terkait sumber daya alam.
KPPOD turut mencatat berbagai hal yang bisa menjadi langkah perbaikan bagi UU HKPD kedepannya. Dalam UU HKPD yang belum jelas merinci mengenai pembinaan dan pengawasan peran pemerintah pusat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan realisasi dana otsus dan dana keistimewaan.
Terakhir KPPOD melihat seringkali dalam perumusan Perda, khususnya terkait pajak dan retribusi memiliki permasalahan dalam sisi perancangan. Pemerintah daerah diketahui masih jarang melibatkan akademisi, praktisi, dan pelaku dunia usaha. KPPOD mendorong agar Pemda melakukan kebijakan berbasis bukti, serta adanya dukungan politik dan reformasi birokrasi yang jelas harus diatur sedemikian rupa, sehingga waktu 5 tahun yang diberikan oleh UU HKPD bisa maksimal dijalankan.
Sementara, Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti menyampaikan bahwa UU HKPD merupakan suatu bentuk reformasi total mengenai tata kelola transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. “UU HKPD ini suatu reformasi secara total bagaimana kita mengelola transfer ke daerah, bagaimana bisa berdampak sekaligus mendorong APBD lebih berkualitas,” kata Astera.
Astera menjelaskan bahwa UU HKPD terbentuk atas keinginan untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan meningkatkan kualitas belanja daerah ditambah dengan harmonisasi kebijakan fiskal daerah-daerah. Sehingga melalui UU HKPD terbentuk penguatan desentralisasi dengan adanya perbaikan kualitas output dan outcome layanan serta pemerataan layanan dan kesejahteraan.
“Alokasi sumber daya nasional yang efektif dan efisien melalui HKPD yang transparan dan akuntabel yang terdiri dari empat pilar,” ujarnya.
Empat pilar tersebut yakni ketimpangan vertikal dan horisontal yang menurun, peningkatan kualitas belanja daerah, penguatan local taxing power, dan harmonisasi belanja pusat dan daerah. Untuk mewujudkan tujuan UU HKPD tersebut, Kemenkeu telah merumuskan empat strategi pencapaian tujuan.
Strategi pertama adalah menguatkan sistem perpajakan daerah dengan mendorong kemudahan berusaha di daerah, mengurangi retribusi atas layanan wajib, opsen perpajakan daerah antara provinsi dan kabupaten/kota, serta basis pajak baru. “Di sini kita gabungkan objek-objek pajak yang sejenis dengan harapan collection dan administrative cost-nya lebih baik,” jelasnya.
Strategi kedua adalah meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal dengan reformulasi DAU, DBH yang berkeadilan, DAK yang fokus untuk prioritas nasional, hingga sinergi pendanaan lintas sumber pendanaan.
“DAU ini formulanya tidak satu untuk semua, disesuaikan dengan karakteristik daerah. Misalnya daerah dengan penduduk yang sedikit atau daerah basis wisata,” katanya.
Kemudian strategi ketiga, meningkatkan kualitas belanja daerah melalui penguatan disiplin dan sinergi belanja daerah, peningkatan kapasitas SDM daerah, hingga TKD yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik.
Sedangkan strategi terakhir adalah melakukan harmonisasi belanja pusat dan daerah melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, pengendalian defisit APBD hingga refocusing APBD dalam kondisi tertentu. “Daerah itu banyak yang tidak mau bikin APBD perubahan, nah ini akibatnya banyak belanja-belanja yang akhirnya banyak terhambat,” ujarnya.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt61b9b43956d1b/sejumlah-catatan-kppod-terhadap-uu-hkpd-dan-tata-kelola-ekonomi-daerah?page=all
Dibaca 1753 kali