Beban Wajib Pajak Bertambah
Bisnis Indonesia - 17 November 2021
Berdasarkan rumusan regulasi itu, opsen akan dikenakan terhadap Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), serta Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
Dalam simulasi yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), ditemukan bahwa dari tiga jenis opsen itu potensi penambahan beban bagi wajib pajak ada pada PKB dan BBNKB.
Direktur Eksekutif KPPOD Arman Suparman menjelaskan, jika opsen dimaknai sebagai pungutan tambahan pada komponen PKB, maka akan ada beban tambahan bagi wajib pajak sebesar 0,1%.
Angka potensi itu menggunakan asumsi ketentuan yang saat ini berlaku dengan mengacu pada UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang mewajibkan tarif tertinggi pemungut PKB sebesar 2%.
Adapun di dalam RUU HKPD tarif PKB maksimal 1,5% dan 40% dari tarif tersebut (0,6%) akan diopsenkan. Arman menjelaskan, ketika dijumlahkan dengan tarif maksimal PKB di dalam RUU HKPD, maka tarif yang harus dibayarkan wajib pajak adalah 2,1%.
“Dengan konsep ini, maka akan ada kenaikan tarif sebesar 0,1%,” kata dia, Selasa (9/11). Sementara itu, beban tambahan bagi wajib pajak pada opsen BBNKPB menurutnya berada di angka 6%.
Angka tersebut menggunakan asumsi bahwa tarif maksimal BBNKB tetap sama dengan UU PDRD sebagaimana tertuang di dalam Naskah Akademik RUU HKPD.
Akan tetapi, penambahan beban wajib pajak disebabkan oleh adanya tambahan opsen BBNKB (pajak kabupaten/kota) sebesar 30% dari besaran beban BBNKB yang diterapkan melalui UU PDRD.
Arman menambahkan, tambahan beban wajib pajak maksimal sebesar 30% dikalikan 20% atau sama dengan 6%.“Peningkatan tersebut disebabkan oleh pemaknaan opsen sebagai pungutan tambahan sehingga ada peningkatan 6% dari tarif awal BBNKB sebesar 20% yang notabene tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan tarif yang berlaku saat ini,” jelasnya.
Di sisi lain, menurut Arman pengenaan opsen tidak akan menambah beban bagi wajib pajak apabila ketentuan ini dilaksanakan dalam rangka mengganti alokasi bagi hasil dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota.
Asumsi bahwa opsen PKB menggantikan skema bagi hasil tidak menambah beban wajib pajak. Sebab, pengenaan opsen dalam skema ini idealnya menempatkan 40% tarif opsen (0,6%) diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota, sedangkan sisanya 60% (0,9%) menjadi milik provinsi.
“Pada akhirnya, wajib pajak tidak terbebani dengan eksistensi opsen berkat pemaknaan opsen sebagai pengganti bagi hasil,” ujar Arman.
Adapun untuk BBNKB, jika opsen dimaknai sebagai pengganti dana hasil, maka 30% dari tarif BBNKB (asumsi maksimal 20%) sebesar 6% menjadi milik pemerintah kabupaten/kota, sedangkan sisanya sebesar 14% menjadi milik pemerintah provinsi.
Dengan demikian, wajib pajak akan diuntungkan karena tidak ada konsekuensi beban tambahan yang ditimbulkan.
Persoalannya, hingga saat ini masih muncul perdebatan terkait dengan fungsi opsen pajak dalam penguatan fiskal daerah.
Pemerintah provinsi berasumsi bahwa opsen merupakan pengganti bagi hasil kepada pemerintah kabupaten/kota.
Sebaliknya, pemerintah kabupaten/kota berpendapat bahwa opsen adalah murni pungutan tambahan di luar pajak reguler.
PENEGASAN
Sementara itu, hingga saat ini pemerintah pusat belum memberikan penegasan apakah opsen pajak akan meleluasakan pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan ekstensifi kasi dalam rangka menguatkan fiskal.
Direktur Pendapatan Daerah Ditjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Hendriwan mengingatkan bahwa pemerintah daerah harus berpegang pada konsep closed list yang tertuang di dalam Pasal 12 UU PDRD.
Artinya, pemerintah daerah tidak bisa melakukan pungutan tambahan di luar yang telah diatur di dalam UU tersebut.
“Pajak dan retribusi daerah bersifat closed list, artinya tidak boleh memungut selain jenis yang ditetapkan dalam Pasal 12 UU PDRD,” kata Hendriwan.
Menanggapi hal ini, Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama berharap penentuan tarif PDRD harus berbasis kajian, melibatkan pihak terkait, dan sesuai dengan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Jika ketiga faktor itu menjadi fokus penyusunan kebijakan, dia optimistis regulasi yang disusun dapat meningkatkan sistem investasi dan kemudahan berusaha.
Menurutnya, RUU HKPD juga perlu mendorong administrasi pajak dan retribusi daerah yang efektif dan efi sien, serta menjamin perancangan peraturan daerah yang akuntabel dan berdaya saing.
“Karena sejauh ini masih banyak keluhan pengusaha terkait aturan yang berbeda di setiap daerah,” kata dia.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia, 10 November 202
Dibaca 533 kali
