Logo KPPOD

Pelantikan Kepala Daerah Bergelombang dan Desain Pilkada Serentak yang Terdistorsi

kompas.id - 30 Januari 2025

Pelantikan Kepala Daerah Bergelombang dan Desain Pilkada Serentak yang Terdistorsi

Keputusan pemerintah dan DPR untuk mempercepat jadwal pelantikan kepala daerah hasil Pemilihan Kepala Daerah 2024 dan membuatnya secara bergelombang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Pengabaian pada putusan MK rentan menimbulkan gugatan dari kepala daerah yang masih menjabat.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengingatkan, MK melalui putusan nomor 27 dan 46 tahun 2024 telah memutuskan pelantikan kepala/wakil kepala daerah hasil Pilkada 2024 digelar secara serentak dan menanti proses sengketa hasil pilkada di MK tuntas. Saat ini, proses di MK masih berlangsung, dan dijadwalkan baru tuntas pada pertengahan Maret 2025.

Dengan demikian, keputusan pemerintah dan DPR yang akan melantik kepala/wakil kepala daerah hasil Pilkada 2024 secara bergelombang tak selaras dengan putusan MK.

Dalam rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (22/1/2025), pemerintah dan DPR memutuskan pelantikan serentak gelombang pertama untuk kepala/wakil kepala daerah yang hasil pilkadanya tak disengketakan di MK pada 6 Februari 2025. Total ada 296 dari 575 daerah. Kemudian sisanya atau kepala/wakil kepala daerah dari daerah yang hasil pilkadanya masih disengketakan di MK akan digelar setelah proses di MK tuntas. Tak berhenti di situ, ada peluang pelantikan gelombang ketiga bagi daerah yang pilkadanya diputuskan diulang oleh MK.

”Hal itu mendistorsi desain keserentakan pelantikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pilkada serentak yang juga membutuhkan koherensi keserentakan antartahapan pilkada, termasuk pengucapan sumpah/janji dan pelantikan pasangan calon terpilih,” ujar Titi saat dihubungi, Rabu malam.

Tak sebatas itu, keputusan pemerintah dan DPR rentan menimbulkan gugatan dari kepala/wakil kepala daerah yang saat ini masih menjabat. Jabatan lima tahun para pimpinan daerah bakal terpotong oleh jadwal pelantikan yang diputuskan pemerintah dan DPR.

Para pimpinan daerah yang kini masih menjabat merupakan produk dari hasil Pilkada 2020 dan baru berakhir masa jabatannya akhir tahun ini. Pada 2020, pilkada digelar serentak di 270 daerah, persisnya di awal Desember 2020.

”Semestinya Presiden Prabowo tidak mengabaikan putusan MK agar tidak ada kontroversi baru terkait konstitusionalitas dan kepatuhan dalam berkonstitusi dalam penyelenggaraan pilkada di Indonesia,” kata Titi.

Meski demikian, mengacu putusan MK No 27/2024, kepala/wakil kepala daerah hasil Pilkada 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya kepala/wakil kepala daerah hasil Pilkada 2024 sepanjang tidak melewati lima tahun masa jabatan.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman pun melihat pemerintah dan DPR tidak patuh pada putusan MK yang mengamanatkan keserentakan pelantikan.

Menurut dia, keserentakan pelantikan seharusnya masih bisa diwujudkan karena sambil menanti MK tuntas memproses gugatan hasil pilkada, daerah-daerah yang belum ada kepala-wakil kepala daerah definitif masih dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Selama menanti proses di MK tersebut, kepala-wakil kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 bisa saja menyiapkan proses transisi dibantu oleh penjabat kepala daerah.

”Semua penjabat harus bisa bekerja sama dengan tim transisi kepala daerah terpilih sehingga tongkat estafet kepemimpinan bisa berjalan lancar pada bulan Maret nanti,” ujarnya.

Meski demikian, ia memahami bahwa ada keresahan lain dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Keresahan dimaksud, kian lama pelantikan digelar, ada masalah pada proses mutasi dan rotasi pejabat daerah karena banyak daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah yang kewenangannya terbatas.

Selain itu, jika harus menunggu pelantikan terlalu lama, dikhawatirkan mengganggu harmonisasi dan sinkronisasi agenda pemerintah pusat dan daerah.

Efisiensi anggaran
Terkait dengan rencana pelantikan semua kepala daerah serentak oleh presiden, menurut Herman, hal itu menjadi praktik baru karena sebelumnya hanya gubernur yang dilantik oleh presiden. Adapun bupati/wali kota dilantik oleh gubernur sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.

Meski Pasal 164 B UU Pilkada menyebutkan presiden punya kewenangan untuk melantik bupati dan wali kota, efisiensi waktu dan anggaran perlu dipertimbangkan. Jika bupati dan wali kota dilantik gubernur, anggaran bisa lebih efisien. Selain itu, gubernur juga bisa melakukan pembinaan dan pengawasan berjenjang dan memperkuat posisinya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.

”Pelantikan serentak di Ibu Kota Negara itu juga, kan, akan diikuti dengan retret kepala daerah. Kalau kemudian jadi dua kali agenda (pelantikan bergelombang), pasti tidak efektif dan efisien. Selain itu, retret juga tidak akan efektif untuk sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah karena yang paling penting adalah tata kelola yaitu bagaimana mekanisme pengawasan dan pembinaan seperti anggaran itu mesti diperkuat,” ujarnya.

Alasan pemerintah dan DPR
Dalam rapat pemerintah dan DPR, Rabu siang, Mendagri Tito Karnavian sebenarnya mengajukan tiga opsi jadwal pelantikan.

Opsi pelantikan 6 Februari 2025 merupakan salah satunya. Dua opsi lainnya, pelantikan serentak menunggu putusan sengketa hasil pilkada di MK, yaitu 17 April 2025 untuk gubernur, serta 21 April-2 Mei 2025 untuk bupati dan wali kota, serta opsi lain, 20 Maret 2025 untuk pelantikan gubernur dan wakil gubernur dan 24 Maret untuk pelantikan bupati dan wali kota.

Namun, keputusan pelantikan kepala daerah lebih cepat akhirnya diambil dengan dalih aspirasi dari daerah yang berharap kepala/wakil kepala daerah terpilih segera dilantik. Pasalnya, daerah mereka saat ini hanya dipimpin penjabat kepala daerah. Selain itu, pelantikan segera juga agar program-program strategi pemerintah pusat bisa segera diwujudkan di daerah.

Adapun menyangkut keputusan pelantikan gubernur, wali kota, dan bupati langsung oleh presiden, menurut Tito, Pasal 164 B UU Pilkada memberikan kewenangan kepada presiden untuk melantik secara serentak.

Ia juga menyebut bahwa format pelantikan baru oleh presiden itu tidak akan mengurangi kewibawaan. Berdasarkan pengalamannya, selama ini antara gubernur dengan bupati dan wali kota banyak yang relasinya kurang baik. Ada banyak bupati dan wali kota yang terkesan mbalelo atau memberontak dari para gubernurnya. Hal itu bahkan terjadi antara gubernur dan bupati atau wali kota yang berasal dari satu partai.

”Masalah wibawa itu tidak ditentukan oleh pelantikan. Yang menjadi kunci dari kekompakan bupati, wali kota, dan gubernurnya itu adalah kemampuan untuk merangkul, datang untuk bertemu, membangun hubungan personal, jauh lebih penting daripada pelantikan formal,” kata Tito.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/pelantikan-kepala-daerah-bergelombang-dan-desain-pilkada-serentak-yang-terdistorsi


Dibaca 31 kali