Mengandalkan Popularitas demi Elektabilitas, Cukupkah?
Harian Pikiran Rakyat - 24 Juni 2024
Artis atau selebritis kerap mewarnai perhelatan politik elektoral di Indonesia. Pada Pemilihan Kepala Daerah 2024 ini, sudah muncul beberapa calon pemimpin yang berlatar belakang selebritis yang diusung oleh partai politik, seperti komika Marshel Widianto yang diusung oleh Partai Gerindra sebagai calon Wakil Wali Kota Tangerang Selatan 2024.
Selain itu terdapat sejumlah figur publik yang telah menyatakan niat untuk bertarung di Pilkada Jawa Barat, seperti Ronal Surapradja (bakal calon Wakil Wali Kota Bandung), Denny Chandra (bakal calon Wali Kota Bandung), Dany Java Jive (bakal calon Bupati Cianjur), dan Dicky Candra (bakal calon Wali Kota Tasikmalaya).
DALAM sistem pemilu yang ditentukan oleh suara terbanyak, kehadiran artis menjadi fenomena yang masuk akal.
Artis yang kerap wara-wiri di ranah media massa membuat mereka menjadi sosok yang populer di tengah banyak orang.
Dalam konteks pemilu, popularitas menjadi modal politik yang penting agar suara bisa diraup sebanyak mungkin dari pemilih di kotak suara.
Para artis mungkin menyadari modal politik tersebut. Tak heran, tidak sedikit dari mereka yang mendekati partai politik supaya bisa diusung sebagai calon pada perhelatan pemilu.
Bisa juga, elite-elite partai politik menyadari kekuatan popularitas para artis dan selebritiss, lalu kemudian mendekati mereka dengan tujuan mempertahankan dominasi elektoral.
Hal yang pasti, ada relasi yang berlangsung secara dua arah dalam proses pengusungan calon di pemilu.
Meskipun demikian, popularitas hanyalah sarana untuk memenuhi satu bagian dalam politik pemerintahan. Setelah pemilu selesai dan pemenangnya telah diketahui, ada beberapa bagian lagi yang harus ditangani, seperti perencanaan kebijakan, penyusunan anggaran, dan tata kelola pemerintahan.
Ketiga hal tersebut sangat penting karena dampaknya akan terasa bagi banyak orang. Persoalannya, perencanaan kebijakan, penyusunan anggaran, dan tata kelola pemerintahan memerlukan pengetahuan dan keahlian tertentu yang perlu dipelajari serta ditempa melalui serangkaian panjang pengalaman.
Sementara dunia selebritis dengan dunia politik pemerintahan sangat jauh berbeda. Menjadi hal yang lumrah apabila sebagian masyarakat kemudian sangsi terhadap kompetensi calon pemimpin dari latar belakang artis atau selebritis.
Direktur Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Nurcahyadi Suparman, mengatakan, setiap warga negara, pada dasarnya, memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilu, baik di level nasional maupun daerah.
Dalam konteks pilkada, keterlibatan warga secara penuh, baik itu dalam hal memilih pemimpin maupun dipilih, bisa memajukan desentralisasi politik.
Meskipun demikian, dalam persoalan hak warga untuk dipilih, daerah membutuhkan pemimpin yang punya kapasitas dan integritas.
“Kapasitas itu soal kompetensi dan itu tidak hanya soal jabatan, riwayat pendidikan, tapi kemampuan lain, terutama mengelola pembangunan di daerah. Kedua, integritas, yakni bagaimana calon bebas dari korupsi, korupsi, dan nepotisme,” katanya.
Setiap warga negara yang maju sebagai calon pemimpin perlu diuji berdasarkan kedua hal tersebut. Herman menyoroti diusungnya Marshel Widianto sebagai Cawalkot Tangsel 2024.
Marshel memiliki rekam jejak yang diwarnai kontroversi, seperti kasus pembelian konten pornografi di tahun 2022.
Mengumbar pertengkaran rumah tangga di media sosial pada tahun 2023, dan mengatangatai UNHCR soal pengungsi Rohingnya pada tahun yang sama.
“Kapasitas dan integritas itu perlu diuji untuk semua warga negara. Fenomena selama ini, tampak dari kapasitas beberapa artis, misalnya yang lagi ramai, Marshel Widianto, kita bisa mempertanyakan dua itu,” tuturnya.
Herman mengatakan, di samping persoalan popularitas dalam pemilu, ada hal yang lebih penting dalam aspek politik pemerintahan, seperti perencanaan kebijakan, penyusunan anggaran, dan tata kelola pemerintahan.
Pemimpin pemerintahan dinilainya perlu menguasai hal-hal tersebut. “Itu bukan perkara belajar satu dua bulan.
Ini yang mungkin, menurut kami, perlu disadari oleh siapa pun yang maju sebagai calon pemimpin daerah dari beragam latar belakang, bukan artis saja,” katanya.
Herman mengatakan, saat berbicara tentang perencanaan kebijakan saja, itu bukan perkara gampang karena menyangkut sisi administrasi, mulai dari musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) hingga penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD).
Tidak hanya itu, pemimpin pemerintahan juga perlu memahami dan menguasai tata kelola pemerintahan yang memberi ruang partisipasi, akuntablitas, dan transparansi.
“Dan ini, menurut kami, mesti benar-benar disadari,” katanya. Herman menambahkan, bila aspek kapasitas dan integritas ternyata tidak ada dalam diri pemimpin pemerintahan, maka ke depannya bisa menimbulkan pekerjaan rumah yang bebannya sangat berat.
“Kalau tidak memiliki bekal kapasitas dan integritas, yang dikorbankan adalah pembangunan daerahnya,” katanya.
Herman menyoroti peranan partai politik sebagai institusi yang, berdasarkan Konstitusi, menjadi pihak berwenang dalam pengusungan calon pemimpin pemerintahan. Munculnya artis dan selebritis dalam politik elektoral menunjukkan bahwa partai politik tidak mampu melakukan kaderisasi.
Lantaran kaderisasi yang tidak efektif, partai politik mencari jalan pintas dengan menggaet figur-figur yang dikenal massa.
Ia mengatakan, KPPOD mendorong partai politik bisa mengimplementasikan meritokrasi dalam kiprahnya. Selain itu, partai politik bisa sungguh-sungguh melakukan capacity building bagi kader-kadernya.
“Kita tahu ada, beberapa parpol yang punya institut dan sekolah. Kedua hal tersebut bisa menjadi sarana pendidikan bagi kader-kader mereka, terutama yang diusung maju dalam pilkada,” katanya.
Pengungkit suara
Direktur Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, mengatakan, sejauh ini, sistem pemilihan di Indonesia mengandalkan keterpilihan mayoritas.
Hal tersebut berdampak kepada munculnya fenomena figur-figur populer, dimana artis termasuk ke dalamnya.
Artis dinilainya bisa berhasil memenangi kontestasi politik yang mengandalkan figur-figur populer, meskipun dalam hal kompetensi acapkali diragukan.
“Secara umum, mayoritas artis berhasil mendapatkan suara lebih besar dari kelompok lain,” katanya.
Meskipun demikian, ia melihat bahwa artis kerap diusung sebagai wakil pemimpin. Ia menduga, penyebab terbesarnya hal tersebut bisa terjadi adalah karena kapasitas kepemimpinan yang minim.
“Jadi, artis lebih difungsikan untuk mengungkit suara, bukan karena bisa bekerja,” katanya.
Menurut dia, pola katrol suara --melalui pemosisian artis sebagai wakil-- bisa menjadi cara terbaik dalam pemilu.
Jabatan wakil kepala pemerintahan juga bisa menjadi sarana bagi artis untuk bersiap-siap memasuki kontestasi pemilu berikutnya menjadi kandidat utama, bukan sekadar wakil, meski hal seperti itu tidak semudah kelihatannya.
Pasalnya potensi konflik dengan petahana yang khawatir suaranya tergerus bisa terjadi. Bila konflik itu memang benar terjadi, warga lagi yang akan terdampak.
Pasalnya, pembangunan suatu daerah bisa saja terhambat karena di dalam pemerintahan itu sendiri terdapat konflik di antara para elitenya.
“Hengki Kurniawan adalah salah satu contoh, betapa konflik antara kepala daerah dengan wakilnya itu sering terjadi,” katanya.
Dedi menilai, kapasitas kepemimpinan menjadi hal yang penting dalam politik pemerintahan. Oleh sebab itu, artis atau selebritis yang memutuskan berkecimpung di politik pemerintahan hendaknya berupaya keras untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinannya.
“Kelompok artis politik seharusnya menyadari beban kerja yang tidak hanya andalkan popularitas sehingga perlu meningkatkan kapasitas kepemimpinan.
Cara terbaik memang mengikuti kontestasi sebagai wakil sebelum turun sendiri sebagai kandidat utama. Hanya, inkumben secara umum akan merasa khawatir jika artis di periode kedua menjadi lawan sehingga dalam proses memimpin sering kali terjadi konflik," tuturnya.
Sumber: Harian Pikiran Rakyat, 24 Juni 2024
Dibaca 734 kali