Digitalisasi Jadi Jurus Pamungkas Capres dan Cawapres Tata Birokrasi
kompas.com - 3 November 2023
Reformasi birokrasi menjadi bagian dari agenda penting tiga pasangan bakal calon presiden dan calon wakil presiden yang terwujud dalam visi dan misi. Ketiganya sama-sama menggunakan digitalisasi sebagai salah satu jurus pamungkas untuk menata birokrasi. Meski demikian, para kandidat diingatkan bahwa terobosan kebijakan lain tetap diperlukan untuk mereformasi tata kelola pemerintahan secara menyeluruh.
Dari dokumen visi dan misi yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) diketahui, ketiga bakal calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) sama-sama memiliki agenda penguatan birokrasi. Pasangan Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menjadikan digitalisasi sebagai salah satu strategi untuk memperkuat kinerja birokrasi dan meningkatkan pelayanan publik.
Anies-Muhaimin memiliki 10 program untuk mewujudkan birokrasi yang profesional dan melayani. Salah satunya mempercepat transformasi digital dalam penyelenggaraan negara melalui penerapan e-planning, e-budgeting, e-procurement, e-reporting, dan melanjutkan program Open Government Indonesia (OGI).
”Revolusi informasi dan teknologi mendorong birokrasi harus lebih siap menghadapi semua persoalan dan keluhan publik. Apalagi dengan semakin transparannya pelayanan publik, birokrasi dituntut lebih profesional dan melayani publik tanpa diskriminasi,” kata Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya, Rabu (1/11/2023).
Lebih jauh, Anies-Muhaimin ingin menghadirkan sistem pelayanan publik yang cepat, mudah, dan murah. Pasangan kandidat dari Koalisi Perubahan ini juga akan memperluas reformasi birokrasi tematik dengan lima indikator utama, yaitu penurunan kemiskinan, peningkatan investasi, digitalisasi pemerintahan, lingkungan hidup berkelanjutan, dan pelayanan publik. Mereka juga akan menyederhanakan sistem akuntabilitas dan mengurangi beban administrasi ASN.
Fondasi penting
Bagi Ganjar-Mahfud, digitalisasi birokrasi bahkan menjadi salah satu dari tiga fondasi dalam melaksanakan misi 8 Gerak Cepat untuk mewujudkan visi Menuju Indonesia Unggul. Digitalisasi yang mempercepat dan mempermudah layanan publik diyakini akan menopang seluruh program aksi tersebut.
Sebab, di era digital yang terus bergerak, telah memungkinkan pemerintah untuk memberikan layanan yang lebih cepat, mudah, murah, dan transparan kepada masyarakat. Dengan digitalisasi, birokrasi dapat dipangkas dan layanan pemerintah menjadi lebih efisien. Selain itu, penerapan sistem digital dalam pelayanan pemerintah dapat meningkatkan akuntabilitas serta memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi dan layanan.
”Hampir semua program pemerintahan butuh digitalisasi. Harapannya, pemerintah ke depan bisa memberikan layanan lebih cepat, mudah, murah, dan transparan,” kata Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Tama Satrya Langkun.
Meski demikian, menurut Tama, digitalisasi birokrasi saja tak cukup. Tetap dibutuhkan aktor yang siap menjalankan hal tersebut. Aktor pemerintahan harus memiliki mental antikorupsi dan kerja cepat sehingga harapan digitalisasi birokrasi bisa tercapai.
”Sebenarnya, digitalisasi birokrasi hanya tools. Yang menggerakkan, yang menjadi pengambil keputusan, bukan mesin, tetap manusia. Makanya, enggak bisa kita cuma ngomongin mekanisme digital, tetapi juga harus bisa meningkatkan kualitas dan kesejahteraan aktornya sehingga ada mekanisme saling kontrol,” ujar Tama yang juga Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Membantu efisiensi
Pasangan Prabowo-Gibran punya pandangan, birokrasi yang efisien, profesional, dan berintegritas menjadi penunjang yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Digitalisasi dengan satu data terpadu dipastikan akan sangat membantu efisiensi dan kesatuan pengelolaan, serta pembinaan karier.
Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan, digitalisasi birokrasi merupakan prioritas dalam visi reformasi birokrasi pasangan Prabowo-Gibran. Di tengah perkembangan teknologi, upaya untuk memacu kinerja birokrasi harus diarahkan pada penggunaan teknologi digital seiring dengan percepatan kebutuhan untuk melayani masyarakat. Lebih dari itu, pemanfaatan teknologi juga penting agar birokrasi bisa mendukung digitalisasi ekonomi yang terus-menerus berkembang.
”Kalau birokrasi tidak mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai pelayanan yang cepat melalui digitalisasi, maka birokrasi akan ketinggalan,” kata Ace.
Tak hanya terkait pelayanan publik, menurut Ace, digitalisasi juga penting untuk mendukung penguatan sistem merit. Dengan pemanfaatan teknologi, kinerja aparatur sipil negara (ASN) bisa terpantau lebih baik, hasil kerjanya juga terukur. Berdasarkan penilaian yang dibantu teknologi itu, kinerja dan prestasi dari setiap ASN bisa dilihat secara lebih riil tanpa unsur subyektif.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menambahkan, digitalisasi birokrasi merupakan jawaban untuk mencegah tindak pidana korupsi di instansi pemerintah. Dengan teknologi digital, pengurusan berbagai dokumen, pengadaan, dan perizinan tidak perlu dilakukan dengan pertemuan fisik sehingga potensi pungutan liar bisa ditiadakan.
”Jika digitalisasi, itu bisa meminimalkan kemungkinan manipulasi atau hengki pengki, contohnya untuk mengatur siapa yang akan memenangkan tender (di instansi pemerintah),” tuturnya.
Tidak cukup
Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sofian Effendi mengingatkan, digitalisasi tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan birokrasi Indonesia. Mengacu pada indeks efektivitas pemerintahan yang diterbitkan Bank Dunia pada 2023, skor Indonesia adalah 66,04 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-73 dari 213 negara. Pada tingkatan tersebut, kualitas birokrasi saat ini baru bisa mendukung Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah, bukan negara berpendapatan menengah atas apalagi tinggi.
Kondisi itu berpotensi menjadi semakin buruk karena pengawasan sistem merit diperlemah setelah adanya revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Revisi UU ASN tersebut menghapuskan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang bertugas mengawasi sistem merit di antaranya saat pengisian jabatan pimpinan tinggi. Tanpa peran KASN, menurut Sofian, potensi nepotisme dan jual beli jabatan akan semakin besar.
Berkaca dari pengalaman sejumlah negara maju, misalnya, Singapura dan China, langkah mereka selalu dimulai dengan pengetatan meritokrasi. Sementara itu, Indonesia dinilai tengah melakukan hal yang sebaliknya.
”Dengan kondisi seperti itu, tidak cukup koreksinya hanya dengan digitalisasi birokrasi dan sedikit perbaikan meritokrasi. Perlu kebijakan yang lebih bersifat terobosan, yaitu tidak sekadar mereformasi birokrasi secara internal untuk setiap instansi, tetapi juga melakukan perubahan tata kelola pemerintahan, governance reform,” ujar Sofian.
Ia menambahkan, perubahan tata kelola pemerintahan yang dimaksud adalah membatasi kewenangan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Saat ini kekuasaan eksekutif yang terlalu besar menjadi salah satu penyebab buruknya kinerja birokrasi, karena aparat negara cenderung takut pada penguasa. “Kalau begini terus, jangan harap pada tahun 2045 kita bisa mencapai Indonesia emas, yang akan terjadi malah bisa menjadi negara loyang,” tutur Sofian.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, ada tiga pekerjaan rumah reformasi birokrasi yang menjadi tantangan presiden dan wapres terpilih. Dua di antaranya sudah disinggung oleh sejumlah kandidat, yakni penataan kualitas birokrasi dan digitalisasi. Sementara sistem pengawasan terhadap ASN justru luput dari perhatian ketiga kandidat.
Menurutnya, digitalisasi berada di lapis ketiga pelaksanaan reformasi birokrasi untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan publik. Digitalisasi juga cenderung berhadapan dengan ego sektoral kementerian/lembaga yang sehingga menyulitkan integrasi. Sedangkan penataan kualitas birokrasi berada di lapis pertama yang menjadi acuan untuk menciptakan budaya kerja birokrat.
Lebih jauh, lanjut Herman, sistem pengawasan ASN justru tidak disinggung oleh tiga bakal pasangan capres-cawapres. Padahal, pelaksanaan reformasi birokrasi sering kali mengalami kegagalan akibat perilaku politisi yang tidak menerapkan sistem merit. Akibatnya, reformasi birokrasi yang sudah disusun bisa terhambat akibat perilaku mutualisme antara politikus dan birokrat yang saling mencari keuntungan.
"Ke depan, pengawasan terhadap ASN semakin sulit setelah dihapuskannya Komisi Aparatur Sipil Negara. Dan perhatian mengenai sistem pengawasan tersebut tidak ada dalam visi dan misi ketiga capres-cawapres," tuturnya.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/11/01/digitalisasi-jadi-jurus-pamungkas-capres-dan-cawapres-tata-birokrasi
Dibaca 335 kali