Logo KPPOD

Hindari Tarikan Kepentingan dengan Perjelas Kewenangan IKN

kompas.id - 24 Januari 2022

Hindari Tarikan Kepentingan dengan Perjelas Kewenangan IKN

Tarikan kepentingan dan benturan kewenangan antara pemerintah daerah yang sudah ada dan Otorita Nusantara sebagai pengelola ibu kota negara baru harus dihindari dengan memperjelas ruang lingkup kewenangan otorita di dalam peraturan pelaksana Undang-Undang Ibu Kota Negara. Pada RUU Ibu Kota Negara, yang pekan lalu telah disetujui DPR untuk disahkan menjadi UU, hal itu dinilai belum secara detail dijelaskan.

Pasal 12 UUD IKN menyebutkan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai penyelenggara pemerintahan daerah khusus ibu kota diberi kewenangan khusus. Kewenangan khusus itu mencakup kewenangan pemberian perijinan investasi, kemudahan berusaha, insentif fiskal dan/atau nonfiskal, serta pemberian fasilitas khusus kepada setiap orang yang mendukung pembiayaan untuk persiapan, pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara, dan pengembangan Ibu Kota Nusantara dan kawasan penunjang sebagai penggerak ekonomi masa depan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan khusus sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) itu diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) setelah berkonsultasi dengan DPR.

Namun, UU IKN belum secara eksplisit mengatur hal-hal apa saja yang merupakan urusan dari IKN, termasuk kaitannya dengan pemerintahan daerah induk, yakni Provinsi Kalimantan Timur, dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Penajam Paser Utara dan Pemkab Kutai Kartanegara.

Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang juga Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Syarif Hidayat mengatakan, rincian kewenangan dan urusan Otorita IKN itu harus diatur detil di dalam peraturan pemerintah untuk menghindari potensi tarikan kepentingan dengan pemda sekitar IKN.

“Jangan mengulang pengalaman Otorita Batam, yang berkonflik antara Otorita Batam dengan Pemerintah Kota Batam dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Masing-masing mengklaim sebagai pemilik kewenangan, sehingga banyak tanah terlantar di sana, terbengkalai, karena ada rebutan kewenangan,” kata Syarif, Minggu (23/1/2022) di Jakarta.

Belajar dari pengalaman Otorita Batam, pemerintah ketika itu menyiapkan Batam sebagai kawasan strategis untuk industri nasional. Konsep otorita dipakai untuk menyiapkan dan membangun kawasan strategis itu, tetapi tidak dibuat aturan mengenai urusan dan kewenangan badan otorita. Akibatnya, timbul saling klaim kewenangan antara pemda dengan badan otorita.

Syarif mencontohkan urusan pengelolaan air, misalnya, bisa terjadi rebutan antara Otorita IKN dengan pemda induk, yakni Kaltim, dan dua kabupaten di wilayah IKN, lantaran masing-masing bisa mengklaim pengelolaan air itu. Tanpa batasan urusan dan kewenangan yang jelas, saling klaim antardaerah itu bisa terjadi. Apalagi jika hal itu menyangkut pendapatan daerah, atau perizinan usaha yang berkontribusi secara fiskal bagi daerah, persoalannya akan menjadi kian kompleks.

Idealnya, menurut Syarif, Otorita IKN dibedakan dengan penyelenggara pemerintahan daerah khusus IKN. Sebab, konsep otorita mestiny ad hoc, atau badan sementara yang berperan menyiapkan, membangun, dan memindahkan IKN. Namun, otorita bukanlah penyelenggara pemerintahan daerah khusus IKN. Faktanya, di dalam UU IKN itu diatur Otorita IKN sekaligus juga penyelenggara pemda khusus IKN. Otorita IKN dipimpin oleh Kepala IKN yang posisinya setingkat menteri. Berbeda dengan konsep daerah otonom lainnya, IKN juga tidak memiliki DPRD.

“Ada ambiguitas karena UU IKN itu tidak mendudukkan secara jelas antara fungsi pemerintahan untuk penyiapan dan pembangunan ibu kota baru, serta fungsi pemerintahan daerah. Ini menimbulkan ketidakjelasan status dan peenyelenggaraan pemda yang diatur dengan UU Nomor 23/2014 tentang Pemda,” katanya.

Syarif menerangkan, UU Pemda yang merujuk pada Pasal 18 dan Pasal 18 B UUD 1945 menyebutkan pemerintahan daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD. Pemda yang dimaksud adalah provinsi, atau kabupaten/kota, dan tidak disebutkan mengenai adanya bentuk otorita. “Di sini ambiguitas dalam implementasi bentuk pemerintahan itu muncul,” katanya.

Hubungan pusat dan daerah

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, terkait dengan UU IKN ada dua hal yang harus dirumuskan lebih detil. Pertama, hubungan antara IKN dengan pemerintah pusat; kedua, hubungan antara IKN dengan pemda sekitarnya, baik Kaltim maupun dua kabupaten di mana IKN berada.

Dalam hubungan antara pusat dan daerah, jika merujuk pada UU Pemda, ada tiga hubungan, yakni kewenangan, keuangan, dan pembinaan pengawasan. “UU IKN belum jelas mengatur hubungan kewenangan ini, karena di satu sisi desain kelembagaannya setingkat menteri, tetapi dari sisi kewenangannya setingkat provinsi atau daerah otonom. Ini merupakan anomali, karena nanti bagaimana hubungan pembinaan pengawasan pusat terhadap IKN ini,” katanya.

Hal lainnya yang belum jelas ialah megenai pendapatan daerah dan dana perimbangan. Sebagian besar pajak dan retribusi itu dikukuhkan di dalam peraturan daerah (perda) terkait pajak dan retribusi. Pertanyaannya, apakah IKN dapat membuat perda mengenai hal itu, karena sebagai suatu daerah khusus, IKN tidak memiliki DPRD. Adapun Perda lahir melalui proses politik antara kepala daerah dengan DPRD.

Demikian halnya dalam bentuk kerja sama antara IKN dengan daerah sekitar, menurut Herman, harus pula dijelaskan di dalam PP. Menurut UU Pemda, Kerja sama antardaerah bisa berupa kerja sama dengan provinsi atau kabupaten/kota lain, antara daerah dengan pihak ketiga yang berbentuk badan hukum, dan antara pemda dengan negara atau lembaga dari luar negeri. “Apakah di IKN berlaku juga bentuk kerja sama tersebut, itu belum jelas di UU IKN,” katanya.

KPPOD menilai banyaknya substansi di dalam UU IKN yang belum detil ini menunjukkan regulasi itu prematur dan terburu-buru dari sisi proses maupun perumusan substansi.

Peneliti Otda dari BRIN Mardyanto Wahyu Tryatmoko mengatakan, problem struktur pemerintahan Otorita IKN itu dapat berdampak pada kebijakan dan pelayanan publik. Dari sisi produk hukum berupa kebijakan, misalnya, Kepala Otorita IKN akan mengeluarkan kebijakan setingkat dengan peraturan menteri, lantaran posisinya setingkat menteri.

Persoalan yang muncul kemudian ialah apakah peraturan Kepala Otorita IKN itu dapat mengikat secara hukum di wilayah IKN. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara eksplisit menyebutkan hierarkis peraturan ialah UUD 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), UU atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda).

“Sebagai kepala pemerintahan IKN yang ditunjuk Presiden, Kepala Otorita IKN tidak bisa mengeluarkan Perda, karena tidak ada DPRD. Lalu, kalau dengan Peraturan Kepala Otorita, apakah itu dapat diakui sesuai urutan peraturan perundang-undangan kita,” katanya.

Dihubungi terpisah, pengajar hukum tata negara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Umbu Rauta mengatakan, kewenangan khusus di dalam UU IKN itu telah disebutkan di dalam Pasal 12. Kalaupun nantinya ada PP yang menjabarkan lebih detil kewenangan itu, susbtansi PP tidak bisa keluar dari yang telah diatur di dalam UU IKN. “Kalau untuk Peraturan Kepala Otorita IKN itu nantinya akan setara dengan peraturan kepala badan lainnya, yang setingkat menteri. Aturan itu hanya berlaku untuk wilayah IKN saja,” kata Umbu.

Seperti gubernur

Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengatakan, posisi Kepala Otorita IKN sama dengan kepala daerah lainnya, sehingga dapat membuat kebijakan untuk memberikan pelayanan publik. Misalnya, untuk memastikan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan kependudukan bagi warga di wilayah IKN.

“Otomatis dia melayani publik, karena selaku penyelenggara pemerintahan daerah khusus ibu kota. Selain membangun dan mempersiapkan pemindahan, Otorita IKN juga menyelenggarakan pemerintahan. Kewenangannya sama dengan kepala daerah setingkat provinsi, tetapi jabatannya setingkat menteri,” ucapnya.

Sekalipun Kepala Otorita IKN berada di bawah Presiden langsung, dia disejajarkan dengan kepala-kepala daerah lainnya. “Dia bisa mengatur wilayahnya untuk pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Pengawasannya akan dilakukan oleh DPR, karena representasi politik yang diakui di sana hanya yang bersifat nasional,” kata anggota Fraksi Nasdem itu.

Mengenai kewenangan Otorita IKN, menurut Saan, memang akan diatur lebih detil di dalam PP maupun Perpres. Hal itu meliputi urusan-urusan yang bersifat khusus yang diberikan kepada Kepala Otorita IKN, serta bagaimana hubungannya dengan daerah sekitar maupun pemerintah pusat. “Nanti aka nada landasan hukumnya yang lebih detil di PP atau Perpres,” katanya.

Anggota Pansus RUU IKN Guspardi Gaus mengatakan, hal lain yang harus dipikirkan oleh pemerintah dalam implementasi UU IKN itu ialah keseimbangan dan pemerataan antarwilayah.

“Jangan sampai pembangunan di daerah IKN ini memunculkan ketimpangan dengan daerah sekitar. Misalnya, di IKN maju sekali dan mewah, sementara daerah penyangga, dan daerah sekitarnya tertinggal, sehingga memicu kecemburuan dan persoalan sosial baru. Ini perlu menjadi perhatian bagaimana menciptakan manajemen yang berimbang antardaerah di IKN,” ucap anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/01/23/hindari-tarikan-kepentingan-dengan-perjelas-kewenangan-ikn


Dibaca 195 kali