Rapor Merah Desentralisasi
Majalah SINDO WEEKLY (Edisi 21-27 Mei 2018) - 23 Mei 2018
Robert Na Endi Jaweng
Direktur Eksekutif KPPOD
Salah satu hasil Reformasi adalah lahirnya otonomi daerah yang dicita-citakan untuk mempercepat kesejahteraan rakyat. Realitasnya, permasalahan muncul, mulai dari daerah pemekaran yang tidak mandiri, maraknya korupsi, hingga tidak sinkronnya antara kebijakan pusat dan daerah.
Pada 25 April lalu, seluruh pemerintah daerah (pemda) memperingati Hari Otonomi Daerah (otda) yang ke-22. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengeluarkan amanat yang dibacakan di masing-masing upacara peringatan di daerah. Tjahjo menerangkan penyelenggaraan otda diarahkan untuk membangun tata pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya. “Ini adalah syarat mutlak bagi pembangunan yang menyeluruh dan berimbang,” ujarnya.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu menekankan agar pemda melakukan inovasi guna menciptakan berbagai terobosan yang dapat meningkatkan kinerja. Namun, banyak kepala daerah kaku dan takut berinovasi karena adanya kemungkinan terkena proses hukum. Inovasi dalam beberapa kasus malah dianggap penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.
Melihat kondisi seperti itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah. “Jangan takut berinovasi. Sudah ada jaminan perlindungan hukum,” terangnya. Pemerintah sepertinya mengharapkan inovasi dari pemda-pemda untuk mengakselerasi pembangunan serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia. “Harapan ini sesungguhnya tidak cukup tampak,” ujar Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), kepada SINDO Weekly, Rabu pekan lalu.
Sejak ditetapkan lewat Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan otda belum sepenuhnya mencapai tujuannya, yaitu pemerataan pembangunan, keadilan, dan pelayanan publik yang baik. Salah satu poin pertimbangan untuk membuat UU tersebut adalah memberikan wewenang yang luas dan nyata, pertanggungjawaban kepada daerah secara proporsional, pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Robert mengatakan bahwa penyelenggaraan otonomi tidak lepas dari keadaan politik pada masa Reformasi. Saat itu, terjadi gejolak yang sangat serius. Daerah-daerah banyak yang merasa tidak puas atas ketidakadilan, terutama pembagian sumber daya alam. Sebagai jawabannya, pemerintah setuju menjadikan otda sebagai instrumen untuk meresolusi konflik dan membuat keseimbangan baru dengan distribusi kekuasaan dan fiskal.
Akan tetapi, kontribusi pembagian fiskal dari pusat ke daerah belum mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat. Tahun ini, ada sekitar Rp 766 triliun atau 36% dari Rp 2.221 triliun dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dikirim ke daerah. Robert mengungkap, secara keseluruhan ada sekitar 53% dana APBN yang berkutat di daerah melalui skema transfer untuk perimbangan, otonomi khusus, penyesuaian, dan bantuan.
Dari 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi, hanya ada 50 pemda yang getol melakukan inovasi dan terobosan. Pemda-pemda itu bisa dilihat dari betapa seringnya mendapatkan penghargaan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), seperti Kota Surabaya, Bandung, Kabupaten Banyuwangi, dan Provinsi Jawa Barat (Jabar). Kota Bandung dikenal dengan revitalisasi taman dan mempunyai 394 aplikasi pelayanan publik. Kabupaten Banyuwangi di bawah pimpinan Abdullah Azwar Anas berkembang menjadi salah satu destinasi wisata baru. “Ada inovasi dari daerah lain, tapi tidak sekonsisten itu,” tutur Robert.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengatakan bahwa pemda harus mampu mewujudkan pelayanan yang dekat dengan masyarakat, efektif, dan terarah. Semua program kerja, mulai dari pembangunan hingga pelayanan publik harus mempunyai dampak yang signifikan. “Semuanya akan berujung pada peningkatan kesejahteraan dan menghilangkan kemiskinan,” ujarnya.
Rapor Merah
Ada tiga poin refleksi pelaksanaan desentralisasi dan otda. Pertama, pembagian urusan telah dilakukan, tetapi belum optimal. Kedua, upaya perbaikan manajemen pemerintahan daerah. Ketiga, pemilihan kepala daerah telah dilaksanakan secara langsung, tetapi masih memerlukan penyempurnaan. Masalah lain yang muncul adalah pemekaran daerah. Beberapa daerah otonomi baru (DOB) tidak mampu berjalan secara mandiri.
Pada 2015, ada setidaknya empat masalah yang kerap terjadi pada DOB, yakni batas daerah, hibah dari daerah induk, penentuan lokasi ibu kota, dan formasi pegawai. Terkait hibah dan penentuan ibu kota biasanya terjadi karena ada pengingkaran dari daerah induk dan tarik-menarik kepentingan politik. “Ini menyita tenaga sehingga menyebabkan upaya peningkatan pelayanan publik terhambat,” ujar Teguh Setyabudi yang saat itu menjabat sebagai Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otda, Kemendagri.
Sejak keran pemekaran dibuka pada 1999, ada 223 DOB yang terdiri dari 8 provinsi, 181 kabupaten, dan 34 kota. Dari jumlah itu, 67% mendapatkan rapor merah dan 33% dinyatakan sudah mampu menjalankan tata kelola pemerintah dengan baik. Dirjen Otda Sumarsono mengatakan, berdasarkan hasil evaluasi, pihaknya memperketat permintaan pemekaran daerah. “Harus dijamin itu berhasil,” ujarnya.
Karena banyak daerah yang dianggap gagal, Kemendagri membuka opsi untuk melakukan penggabungan daerah. Opsi ini merujuk pada Pasal 44 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU itu merupakan perubahan terakhir sebelumnya, yakni UU Nomor 32 Tahun 2004. Meski banyak yang gagal, itu tak menyurutkan keinginan daerah lain untuk memekarkan diri.
Maret tahun lalu, Tjahjo Kumolo mengungkapkan ada sekitar 237 daerah yang sudah mengajukan pemekaran. Namun, Kemendagri memilih untuk menghentikan sementara pembentukan DOB. Pemekaran daerah itu bukan hanya soal pembentukan struktur pemda, tetapi juga harus memerhatikan kesiapan perangkat yang lain, seperti TNI, Polri, kejaksaan, dan pengadilan. “Pemerintah ingin membangun tata kelola pemerintah yang baik dan efektif,” tuturnya.
Robert menerangkan banyak pemda lama dan DOB tidak memiliki perencanaan dalam penganggaran. Akhirnya, uang habis untuk menggaji pegawai dan tidak pernah dihitung delivery cost-nya.
Nah, terakhir, perjalanan uang untuk pembangunan dari kantong pemda ke masyarakat melalui banyak tahapan, salah satunya biaya logistik. Pemda kerap tidak fokus dalam mendesain program kerja dan pembangunannya. Kepala daerah lebih banyak mengakomodasi kepentingan politik, seperti pokok pikiran DPRD dan janji kampanye. Hal itu tidak bisa dimungkiri karena tabiat politik adalah menyenangkan banyak pihak. Semua itu demi meraup suara lagi.
Pada akhirnya, otonomi memunculkan “raja-raja kecil” karena kepala daerah merasa mempunyai legitimasi lebih kuat. Ini tidak lepas dari klaim telah dipilih langsung oleh masyarakat melalui pilkada. Tak heran antara kebijakan pusat dan daerah sering tidak sinkron. “Pengawasan pusat lemah dan daerah mbalelo,” ucapnya.
Selain serangkaian masalah di atas, noda hitam dalam desentralisasi saat ini adalah maraknya korupsi. Ironisnya, korupsi ini kerap melibatkan pucuk jajaran pemimpin daerah dan keluarganya. Terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud. Robert menyatakan korupsi merupakan masalah paling serius dan bisa mengancam legitimasi public trust terhadap penyelenggaraan otda. “Dipilih oleh rakyat harus amanah, jangan malah menyalahgunakan (kekuasaan),” pesan Tjahjo. (FWB - SINDO)
--- (Dimuat di SINDO Weekly – Edisi 21-27 Mei 2018) ---
Dibaca 7294 kali